Under Dutch Occupation, We Are Worse Than Dog (Mongrel/Canine/K9!)
Memaknai Pidato Prabowo "Dibawah Penjajahan, Bangsa Kami Diperlakukan Lebih Buruk dari Anjing
— PONTIANAK | Hujan turun di satu kota di Indonesia, tapi kopi tubruk di meja mendingin, sementara di New York sebuah kata sederhana, “anjing”, meledak dari mikrofon dan menggema di ruang berlapis bendera dunia.
Memaknai Pidato Prabowo "Dibawah Penjajahan, Bangsa Kami Diperlakukan Lebih Buruk dari Anjing

Satu kata yang biasanya hanya jadi sapaan di gang kampung atau umpatan di pinggir jalan, mendadak menjelma menjadi retorika internasional di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Presiden Prabowo Subianto, dengan suara berat yang membawa jejak masa lalu bangsa, berkata lantang:
“Negara saya memahami penderitaan ini. Selama berabad-abad, rakyat Indonesia hidup di bawah dominasi kolonial, penindasan, dan perbudakan. Kami diperlakukan lebih buruk daripada anjing di tanah air kami sendiri.”
Kalimat itu memecah hening, menyayat ruang, dan mencabik memori. Seolah-olah luka penjajahan yang lama terkubur tiba-tiba dibuka kembali.
Dunia yang duduk rapi di kursi diplomat sontak tertegun. Sebagian tersenyum getir, sebagian tercengang, sebagian lain buru-buru mencari terjemahan paling tepat di Google Translate.
Bayangkan betapa riuhnya ruang kaca para penerjemah simultan. Mereka panik, saling berbisik: “Dog? Hound? Or should we say: a creature once loyal, yet despised?”
Tetapi pidato sudah telanjur meluncur, dunia pun sudah telanjur heboh.
Inilah titik di mana filsafat anjing naik kelas. Dari pepatah “anjing menggonggong, kafilah berlalu,” kini lahir tafsir baru: “anjing menggonggong, kolonialis tertegun, dunia pun bertepuk tangan.”
Kenapa anjing? Kenapa bukan kambing, ayam, atau bebek? Jawabannya sederhana sekaligus simbolis.
Kambing di telinga orang Barat berarti barbeque. Ayam segera dikaitkan dengan KFC. Bebek bisa jadi promosi Duck Dynasty.
Tapi anjing? Ia universal. Dari Papua hingga Texas, dari Sahara hingga Siberia, kata “dog” punya resonansi yang sama: ada loyalitas, ada hinaan, ada sejarah panjang relasi manusia dengan makhluk berkaki empat itu.
Prabowo tahu betul, diplomasi global kadang butuh shock therapy. Daripada pidato sepanjang 54 menit yang membuat para delegasi menguap, lebih baik satu kata yang membuat dunia terkesiap, lalu merenung.
Dan benar saja, media sosial meledak. Ada yang bangga, “Presiden kita tegas, bro!”
Ada yang tertawa, “Baru kali ini anjing naik panggung PBB!” Bahkan aktivis pecinta hewan ikut merasa diakui martabatnya.
Namun, di balik kelakar dan kehebohan, ada luka lama yang dikoyak untuk ditunjukkan pada dunia: bangsa ini pernah diperlakukan lebih buruk dari anjing.
Lebih hina dari hewan peliharaan. Lebih terinjak dari sekadar makhluk setia yang menggonggong di halaman rumah.
Kata itu menjadi cermin, bagaimana kolonialisme telah menurunkan martabat manusia hingga lebih rendah dari binatang.
Kini, setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, presiden bangsa itu berdiri di forum tertinggi dunia, mengenakan jas rapi, dan dengan tenang menyebut kata yang dulu jadi simbol penghinaan. Bukan untuk melucu, tapi untuk mengguncang kesadaran.
Inilah satire tingkat tinggi. Sebuah stand-up comedy yang panggungnya bukan kafe kecil di malam minggu, melainkan Sidang Umum PBB, dengan penontonnya para presiden dan perdana menteri. Bila ada juri, mungkin ia akan dapat golden ticket.
Tapi pesan sejatinya jauh lebih serius: solidaritas. Solidaritas terhadap bangsa-bangsa yang kini sedang menderita, khususnya Palestina.
Gonggongan itu bukan gonggongan kosong, melainkan panggilan moral. Jangan ulangi sejarah. Jangan perlakukan manusia lebih hina daripada anjing.
Sejarah berputar dengan cara yang ironis. Dulu bangsa ini diperlakukan lebih buruk dari anjing. Sekarang, kata itulah yang digunakan untuk mengingatkan dunia agar tidak mengulang dosa yang sama.
Hari itu, anjing resmi masuk catatan sejarah PBB. Bukan sebagai makhluk peliharaan, tapi sebagai simbol perlawanan, metafora penderitaan, dan retorika yang membuat dunia terdiam, lalu bertepuk tangan.
Namanya bukan Shakespeare, bukan Socrates, bukan stand-up komedian Netflix.
Namanya Prabowo Subianto. Dan dengan satu kata sederhana, ia berhasil membuat dunia berpikir ulang tentang arti martabat manusia. [■]
Penulis: Rosadi Jamani (Ketua Satu Pena Kalbar) Editor: DikRizal


إرسال تعليق
Silakan beri komentar yang baik dan sopan