Sofyan S.: Rumah Pribadi Walikota Itu Diserahkan, Diberi, Dipinjam, Disewa Atau Dijual Ke Pemkot?

Drama anggaran di Kota Bekasi makin mirip sinetron “Ikatan Anggaran” yang nggak kelar-kelar.
Setelah tunjangan DPRD yang fantastis didemo dan sempat janji bakal direvisi, kini sorotan publik beralih ke rumah dinas Walikota Tri Adhianto.
Masalahnya, rumah dinas itu ternyata diklaim sebagai rumah pribadi. Jadi bingung, ini rumah jabatan, rumah pribadi, atau rumah-rumahan ala Monopoli?
Baru kemarin hari dilaporkan LSM ke KPK, sekarang oleh LSM yang berbeda dilaporkan malah ke Kemendagri.
Masalahnya, rumah dinas itu ternyata diklaim sebagai rumah pribadi. Jadi bingung, ini rumah jabatan, rumah pribadi, atau rumah-rumahan ala Monopoli?
Baru kemarin hari dilaporkan LSM ke KPK, sekarang oleh LSM yang berbeda dilaporkan malah ke Kemendagri.
Ibarat nonton Liga Champions, bola anggarannya terus dipingpong. DPRD dan eksekutif rapat sepakat revisi tunjangan, tapi soal fasilitas rumah dinas masih “belum ada arah”. Kalau ada arah, mungkin arahnya ke mall dulu.
Padahal, rakyat berharap anggaran ini dialihkan ke kesejahteraan sosial. Coba bayangkan, kalau uang tunjangan mewah itu dipakai untuk perbaikan jalan bolong, buat beasiswa anak-anak, atau sekadar bayar WiFi di ruang belajar. Rakyat senang, pejabat pun dapat pahala.
Tapi kenyataannya, di negeri Konoha ini para pejabat justru suka mabuk flexing.
Bahasa kerennya: logical fallacy tingkat dewa mabok judol Bayangkan, rakyat kerja keras tiap hari, bayar pajak, tapi hasilnya justru untuk gaya hidup borjuis pejabat.
Lha kita ini siapa? Wakil rakyat atau jongosnya penguasa?
Memang sih, aroma permainan "congklak" di tingkat Kejagung masih terasa. Tapi di tingkat daerah, kita masih berharap ada penegak hukum yang benar-benar serius, bukan hanya sekadar ikut lomba KKN antar-tingkat—dari mikro, kecil, menengah, sampai kelas B minus.
Dan tolong, jangan sampai muncul istilah baru lagi seperti: “Geng Solo” dan “Kecebong Mabuk Kecubung Kekuasaan” timbul di Kota Bekasi.
Karena hanya kota Bekasi yang berhasil melewati masa-masa krisis akai demo yang bisa saja disusupi OTD melakukan aksi anarkis guna memprovokasi warga atau para peserta demo yang hendak sampaikan kegelisahan dan aspirasinya malah terganggu.
Kalau sampai itu atau Kota Bekasi jadi rusak dan chaos (pastinya bukan caos tomat) maka berita buruk yang viral. Sekali lagi bisa-bisa politik negeri ini tambah jadi bahan stand-up comedy nasional. Dan materi satire itu lagi.
Pada akhirnya, hanya media, LSM, dan mahasiswa yang bisa terus menggedor kesadaran para elit. Dan tentunya yang didukung segala lapisan masyarakat, politisi, teknokrat, birokrat dan juga sesepuh serta ulama pemuka agama.
Masa iya harus nunggu sponsor asing dulu baru negeri ini bisa berubah? Kan anjasmara banget, Pak!
Atau malah disangka seperti kata Pak Presiden yang telah dilontarkan baru-baru ini, Rakyat yang berdemo bisa dianggap dan dituduh anarkis dan patut diduga sedang melakukan gerakan aksi terorisme.
Healah, jangan sampai dugaan Presiden Prabowo itu benar.
Sementara itu menurut pendapat seniman dan budayawan Bekasi, Sofyan Syuhada menyatakan hal senada dari sudut pandang berbeda.
"Dengan dana 1.5 milyar mestinya kota Bekasi dapat membangun satu buah rumah dinas per periode pemerintahan atau per tahun anggaran? Dan bukan sewa." ungkap Sofyan Syuhada yang akrab disapa Bang Piyan.
Lagian, imbuh Bang Piyan, untuk apa pemerintah memfasilitasi pejabat yang sudah berkecukupan di tengah keadaan ekonomi masyarakat yang tengah terpuruk oleh beban fiskal? Hapus semua point biaya rumah dinas walikota.


Posting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan