Wiranto:
Yudhoyono Pernah Janji bahwa Kalla Tak Akan Maju
Jika Kalla betul terpilih, Amien yakin akan terjadi konflik kepentingan tiga dimensi, yakni Kalla sebagai pebisnis, penguasa, dan politikus. "Jika sampai terjadi pada seorang wakil presiden, tentu akan berbahaya untuk pertumbuhan demokrasi dan penuntasan korupsi di Indonesia," kata dia dalam konferensi pers di kantor PAN, Rabu (16/12) Jakarta.
Dalam pernyataan "tanpa bermaksud mengintervensi" Musyawarah Nasional ke-7 Partai Golkar yang sedang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Amien menyarankan agar Kalla mengurungkan niatnya mencalonkan diri. Dia menilai, keputusan pemilik Grup Bosowa itu akan "berpengaruh kepada bangsa dan rakyat Indonesia".
Amien juga menyatakan tidak mengerti dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam masalah ini. Ia berpendapat, kondisi politik di Indonesia sangat ideal, yakni DPR beroposisi dengan pemerintah. Anggapan pencalonan Kalla sebagai cara Yudhoyono untuk merengkuh legislatif, menurut dia, juga sangat tidak tepat. "Seharusnya SBY (Yudhoyono) meminta Kalla untuk mundur sehingga tidak akan muncul permasalahan baru," kata dia.
Amien menganggap, rangkap jabatan yang dulu dia lakukan sebagai Ketua MPR dan Ketua Umum PAN berbeda dengan posisi Kalla. MPR, kata dia, adalah lembaga perwakilan yang terdiri dari banyak partai, berbeda dengan pemerintah yang mewakili bangsa. Ia yakin, pemerintahan akan macet dan menuai banyak kritik jika Kalla terpilih. "Kalau sampai terjadi, kita ucapkan selamat jalan saja," kata dia.
Kritik yang sama sebelumnya telah dilontarkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Ia mengaku khawatir jika Kalla terpilih akan muncul tarik-menarik kepentingan. Ia pun menyayangkan, tradisi partainya yang menanggalkan jabatan di partai setelah terpilih menjadi pejabat publik tidak dikuatkan menjadi undang-undang.
Di "dalam Beringin", Jenderal (Purn.) Wiranto, Rabu (16/12) mengingatkan Kalla untuk "memikirkan secara serius" pencalonannya. Ia juga mengingatkan para pengurus daerah pendukung Kalla bahwa sang wakil presiden sedang memegang jabatan penting di pemerintah. "Saya tak punya hak untuk melarang Pak Jusuf Kalla maju," kata Wiranto yang juga mencalonkan diri, "tapi dia punya jabatan yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Akan sulit dibedakan antara kader partai dan jabatannya."
Wiranto juga membuka pertemuannya dengan Yudhoyono dan Kalla beberapa waktu lalu. Menurut dia, pada pertemuan itu Yudhoyono menyatakan bahwa Kalla tak akan maju. Ditanya apakah dia merasa dibohongi Yudhoyono dan Kalla, mantan Panglima TNI itu menjawab, "Terserah saja, itu bahasa Anda."
Dia menegaskan, secara pribadi tak bisa melarang. Yang bisa melarang, menurut dia, hati nurani Kalla sendiri, karena "tanggung jawab ke publik itu berat". Apalagi, kata dia, rakyat sedang menanti-nanti janji kampanye Yudhoyono-Kalla, yaitu menjadikan Indonesia "aman, sejahtera, dan bebas korupsi".
Namun, Jusuf Kalla menjamin pencalonan dirinya tidak akan mengganggu kinerja pemerintah. Justru sebaliknya, kata dia, Golkar diharapkan bisa "sejalan dengan pemerintah" dalam melaksanakan berbagai program dan kebijakan pembangunan.
Jusuf mengatakan, dua alasan dirinya maju adalah "dinamika yang berkembang di lapangan" dan "desakan dari banyak pengurus Golkar tingkat provinsi". Dia memastikan telah membicarakan hal ini dengan Presiden Yudhoyono sebelum memutuskan untuk maju. "Mana mungkin wakil presiden tidak minta izin presiden untuk langkah-langkah seperti itu?" kata dia. "Presiden setuju."
Mantan Ketua Umum Golkar Harmoko juga menganggap, rangkap jabatan yang akan dilakukan Kalla tidak ada masalah. Ia menilai, rangkap jabatan tidak selamanya buruk. Ia menyebutkan, di sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura, ketua partai yang berkuasa menjadi pemimpin tertinggi negara.
Suliyanti/Rofiqi/Yura/Sutarto/Sapto/Jobpie/Sunu/Rahmadi?Tempo
-----------------------------------------------------------------------------------------
"Damaikan Maluku, atau jangan kembali ke Jakarta sebelum berhasil!"
Wiranto kepada tim Khusus ABRI yang dibentuk pada Maret 1999, beranggotakan 19 personel perwira tinggi TNI dan Polri asal Maluku, bertugas membantu penyelesaian konflik Maluku.
"Di kala saya masih menghitung betapa beratnya tantangan tugas yang akan dipikul ABRI, masih pula saya harus menghadapi tuduhan bahwa perjalanan saya ke puncak pimpinan ABRI karena faktor nepotisme."
Wiranto dalam buku Bersaksi di Tengah Badai (2003).
"Pernyataan tersebut sangat mengherankan dan patut disesalkan, dan tidak semestinya diucapkan oleh seorang Ketua Umum Partai Golkar yang sedang berjuang memenangkan pemilu."
Peserta konvensi Partai Golkar, Wiranto, dalam jumpa pers di Hotel Ambhara Senin, 23 Februari 2004, sehubungan dengan pernyataan Akbar Tandjung tentang kesiapannya menjadi wakil presiden. Menurut Wiranto pernyataan Akbar seolah-olah mengkampanyekan PDIP sebagai pemenang dalam Pemilu 2004 mendatang.
"Sebagai penonton saya melihat, bahwa telah terjadi deviasi dari tujuan reformasi yang sebenarnya."
Wiranto dalam bedah buku "Bersaksi di Tengah Badai" di Hotel Sahid Makassar, Sabtu (9/8/2003).
"Tiap warga negara punya hak sama dalam politik dan hukum. Selama Tutut memenuhi syarat-syarat maju sebagai calon presiden, harus diberi kesempatan. Nantinya, rakyat yang menentukan siapa pilihan mereka."
Wiranto tentang rencana Siti Hardiyanti Rukmana maju sebagai calon presiden, yang dikatakan di Jakarta, Minggu (14/12/2003).
"Saudara-saudara, di sini saya tidak akan mengobral janji karena rakyat sudah tidak bias dibohongi, betul! Rakyat sudah tidak bisa dibeli, betul! Rakyat hanya minta bukti, betul."
Wiranto dalam kampanye Partai Golkar di Gelora Pantjasila, Surabaya, Kamis (18/3/2004).
"Dan terkadang saudara, preman lebih berkuasa daripada kepolisian."
Wiranto tentang bangsa Indonesia yang belum mampu menjamin keamanan warganya. Penjahat masih bebas berkeliaran di jalanan dan prvokator masih bisa mencari makan di jalanan. Itu dikatakan dalam kampanye Partai Golkar di Gelora Pantjasila, Surabaya, Kamis (18/3/2004).
"Pemerintahan Mega kurang bisa memperhatikan kebutuhan rakyat. Maka bila saya menjadi presiden mendatang, saya berjanji akan mendekatkan rakyat kepada pemerintah. Karena rakyat dan pemerintah merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan."
Wiranto kepada wartawan di Hotel JW Marriott, 18 Maret 2004.
"Saya akan berantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Saya akan perberat sanksi hukuman, diperberat hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati."
Wiranto, 28 Maret 2004, di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, sebelum kampanye di Pemalang, Jawa Tengah.
"Saya kira tak akan ada seseorang pemimpin yang merasa senang bila menyaksikan rakyatnya banyak yang tewas dalam konflik berkepanjangan dan tidak jelas tujuannya. Kecuali pemimpin itu seorang psikopat atau mempunyai niat jahat yang dengan sengaja dan memanfaatkan konflik dan kesusahan masyarakat untuk kepentingannya sendiri."
Kutipan dari tulisan Jenderal (Purn) Wiranto yang berjudul Mengatasi Ledakan Kekerasan dan Konflik Lokal (19 April 2004) dalam situs http://www.wiranto.com.
"Saya berkeyakinan bahwa netralitas TNI sudah menjadi komitmen yang tidak dapat ditawar-tawar lagi."
Wiranto dalam tulisannya “Reformasi Internal TNI, Suatu Keharusan”, 04 Mei 2004.
"Saya sangat tersentuh. Sesaat setelah saya menyampaikan pidato singkat itu, terjadi suatu pemandangan yang sangat mengharukan. Teriakan "Allahu Akbar!", "Allahu Akbar!", bersahut-sahutan."
Wiranto setelah berpidato tentang penghapusan Daerah Operasi Militer (DOM) pada 7 Agustus 1998, di Lhokseumawe, Aceh. Disampaikan dalam tulisan WIRANTO dan Isu Pelanggaran HAM di Aceh (Sebuah pernyataan Wiranto) 07 Mei 2004.
"Tuduhan-tuduhan itu biasa, asalkan kita tak melakukan tuduhan itu."
Wiranto tentang tuduhan pelanggaran HAM berat, yang dikatakan di Medan, Sumatra Utara, Sabtu (15/5/2004).
"Saya juga ingin memperbaiki kinerja badan intelijen kita dan kerja sama antara kepolisian Indonesia dengan negara lain. Karena terorisme sudah begitu meluas dan global hingga sulit dibasmi tanpa kerja sama internasional. Saya tidak ingin terorisme di Indonesia baik sebagai obyek maupun sebagai basis gerakan."
Pandangan Wiranto tentang langkah-langkah memerangi terorisme. Dimuat di http://www.wiranto.com.
"Jadi cara satu-satunya adalah menghukum pelaku korupsi dengan keras, bahkan (kalau hukum kita dapat mengijinkan) ditembak mati."
Pandangan Wiranto tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, dimuat di http://www.wiranto.com.
"Kebijakan ekonomi yang akan diimplementasikan pemerintah baru 2004-2009 mencakup:
1. Meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan standar pendapatan.
2. Memperbaiki ketidaksesuaian dalam masalah ekonomi dan sosial. 3. Mereformasi iklim investasi.
4. Mereformasi sektor industri.
5. Mereformasi sektor pertanian.
6. Mereformasi Sistem Usaha Kecil dan Menengah.
7. Mereformasi sektor perbankan.
8. Mereformasi sistem perpajakan.
9. Meningkatkan pendapatan dari sektor migas.
10. Meningkatkan pendapatan dari sektor lainnya.
11. Memperkuat kerjasama internasional."
Wiranto tentang apa kebijakan ekonomi yang direncanakan. Dimuat di http://www.wiranto.com.
Pusat Data dan Analisa Tempo
-----------------------------------------------------------------------------------------
Wiranto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 4 April 1947; umur 62 tahun [1]) adalah seorang politikus Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Wiranto menjabat Panglima TNI periode 1998-1999. Ayahnya, RS Wirowijoto adalah seorang guru sekolah dasar, dan ibunya bernama Suwarsijah. Pada usia sebulan, Wiranto dibawa pindah oleh orang tuanya ke Surakarta akibat agresi Belanda yang menyerang kota Yogyakarta. Di Surakarta inilah ia kemudian bersekolah hingga menamatkan Sekolah Menengah Pertama.
Selepas KSAD, ia ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Pangab (sekarang Panglima TNI) pada Maret 1998. Pada masa itu terjadi pergantian pucuk kepemimpinan nasional. Posisinya yang sangat strategis menempatkannya sebagai salah satu pemain kunci bersama Wakil Presiden B.J. Habibie. Ia tetap dipertahankan sebagai Pangab di era Presiden Habibie.
Setelah memenangi konvensi Partai Golkar atas Ketua Umum Partai Golkar Ir. Akbar Tandjung, ia melaju sebagai kandidat presiden pada 2004. Bersama pasangan kandidat wakil presiden Salahuddin Wahid, langkahnya terganjal pada babak pertama karena menempati urutan ketiga dalam pemilihan umum presiden 2004.
Deklarasi partai juga dihadiri sejumlah pengurus, yaitu mantan Sekjen Partai Golkar Letnan Jenderal TNI (Purn) Ary Mardjono, mantan Gubernur Jawa Tengah Ismail, mantan menteri pemberdayaan perempuan DR Hj. Tuty Alawiyah AS, Yus Usman Sumanegara, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) Subagyo HS, mantan Wakil Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) H. Fachrul Razi, mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi (Purn) Chaeruddin Ismail, Marsda TNI (Purn) Budhi Santoso, Letnan Jenderal (Purn) Suadi Marasabessy, Mayor Jenderal TNI (Purn) Aspar Aswin, Laksda TNI (Purn) Handoko Prasetyo RS, Mayor Jenderal TNI (Purn) Aqlani Maza, Mayor Jenderal (Purn) Djoko Besariman, Mayor Jenderal (Purn) Iskandar Ali, Samuel Koto, dan mantan menteri keuangan Fuad Bawazier, pendiri Partai Bintang Reformasi Djafar Badjeber, pengacara Elza Syarief, Gusti Randa, dan pengusaha asuransi Jus Usman Sumaruga.
Pada 17 Januari 2007, ia bertemu dengan Ketua DPR-RI Agung Laksono di Komplek MPR/DPR, Senayan (Jakarta). Pertemuan itu menjadi langkah awal dalam menyosong Pemilu Presiden 2009. Ia menyatakan kesiapannya berhadapan kembali dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika mencalonkan kembali.
Tulisan Terkait tentang Wiranto
Forwarded message:
From owner-indonesia-l@indopubs.com Sat Feb 28 17:21:50 1998
Date: Sat, 28 Feb 1998 15:21:21 -0700 (MST)
Message-Id: <199802282221.PAA26769@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@clark.net
Subject: [INDONESIA-L] Wiranto, Prabowo & Para Letkol
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com
To: "'Apa kabar Indonesia-L, John Mc Dougal'" <apakabar@clark.net>
Subject: Wiranto, Prabowo & Para Letkol
Date: Fri, 27 Feb 1998
Prospek Konflik Pasca-S.U.-M.P.R:
Wiranto, Prabowo dan para Letkol
oleh Ben Soeparman di Singapura
Pengantar Redaksi:
ABRI di bawah Pangab (lama) Jendral Feisal Tanjung dikenal sebagai rezim
ABRI paling jinak (docile) sepanjang zaman. Kerjanya nuruuut terus kepada
Pangti Jendral pur. Soeharto. Maka tak perlu mengherankan, ABRI-nya Feisal
betul betul menjadi "Satpam-nya P residen Soeharto". Meski begitu Soeharto
toh curiga dan licik. Baru minggu terakhir menjelang SU MPR, Soeharto
mencopoti rezim Feisal dan menggantikannya dengan rezim Wiranto/Prabowo.
Begitu sing-kat waktu peralihan (bahkan baru Pangab yang diganti, sedan g
Pangkostrad dan Dan Kopassus baru diganti setelah SU MPR) sehingga orang
orang baru tidak sempat menyusun gerak gerik untuk mencubit dan mendongkel
Soeharto-Habibie. Jadi SU MPR boleh diduga bakal lancar, tetapi jangan
kira Soeharto-Habibie bakal mulus teruus. Nah di sini lah analisa berikut
yang disusun oleh Ben Soeparman dari Singapura, dengan gaya ala
Ben-Andersonian, mencoba melayangkan pandangan menerobos ke depan.
Titik tolak dalam mengamati gerak-gerik militer adalah sifat organisasinya
yang top-down. Karena sifat itu maka untuk bisa menguasai militer
dibutuhkan semacam klik atau kelompok inti yang anggotanya cukup 15 orang
saja. Saat ini ada dua klik dalam Angkat an Darat: kelompok Wiranto yang
ingin reformasi atau perubahan yang bertahap, pelan-pelan, dan kelompok
Prabowo yang juga berbicara ingin melaksanakan perubahan, tetapi di balik
itu Prabowo tetap bertekad melindungi kepentingan Keluarga besar Cendana.
Mes ti kita ingat, Keluarga Cendana paling kaya sedunia. Tidak
mengherankan kalau Kelompok Prabowo memiliki dana yang tidak terbatas!
Kedua kelompok ini aktif sekali mencari dukungan sipil untuk memperkuat
posisi mereka dalam pertarungan kekuasaan internal Angkatan Darat ini.
Prabowo bertandang ke mana-mana dan mengundang orang-orang untuk
mendengarkan pembicaraannya. Begitu juga Susil o Bambang Yudhoyono yang
dianggap sebagai juru bicara Kelompok Wiranto. Seperti Prabowo, Bambang
juga menyatakan ingin berbicara dengan semua orang yang bersedia bertemu
dengannya.
Ada sembilan jabatan paling penting di lingkungan Angkatan Darat. Mutasi
paling akhir adalah sebagai berikut:
1. PANGAB (Wiranto, Akabri 69)
2. KSAD (Subagyo, 70)
3. PANGKOSTRAD (Prabowo, 74)
4. DANJEN KOPASSUS (Muchdi, 70)
5. PANGDAM JAYA (Sjafrie Syamsudin, 74)
6. KASUM (Fachrul Razi, 70)
7. KASSOSPOL (Susilo Bambang Yudhoyono, 73)
8. PANGLIMA DIVISI-1 KOSTRAD (?, markasnya di Jakarta)
9. KEPALA BIA (Zacky Anwar Makarim, 71)
Jenderal Jenderal
Kelompok Wiranto (Pangab) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Kassospol) akan
menguasai Mabes ABRI di Cilangkap. Sedangkan kelompok Prabowo (Subagyo,
Prabowo, Muchdi, Sjafrie dan Zacky) akan menguasai Mabes Angkatan Darat di
Merdeka Barat. Selain jabatan di Mab es ABRI dan Mabes Angkatan Darat itu
posisi paling penting adalah Pangdam di Jawa: Siliwangi, Diponegoro dan
Brawijaya. Sekarang ini, ketiga Pangdam itu dianggap termasuk kelompoknya
Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Pangdam-pangdam di luar Jawa tidak
menentukan kalau terjadi perebutan kekuasaan di Jakarta.
Dengan komposisi sekarang Kelompok Prabowo menguasai Jakarta dan
sekitarnya. Sedangkan Kelompok Wiranto berpengaruh di luar Jawa. Kondisi
seperti ini menguntungkan Suharto karena tidak ada satu kelompokpun yang
cukup kuat untuk bisa memaksakan Supersemar versi 1998. Kemungkinan kudeta
versi Jawa itu bisa diperkecil. Kelompok Prabowo bisa menguasai Jakarta.
Tapi lalu bisa apa kalau daerah di luar Jakarta kemudian bergolak?
Kelompok Wiranto tidak menguasai Jakarta. Padahal Supersemar hanya mungkin
kalau mer eka dapat persetujuan militer di Jakarta. Tanpa itu tidak
mungkin!
Yang belum bisa dipastikan adalah posisi Sugiyono, bekas Pangkostrad yang
sekarang dijadikan Wakasad, dan Sjafrie Syamsudin, Pangdam Jaya. Dengan
mengangkat Subagyo menjadi KSAD, berarti Sugiyono yang semestinya
menduduki jabatan ini (kalau melihat karir Suharto, Wismoyo, dan Wiranto
sendiri yang semuanya naik dari Pangkostrad langsung menjadi KSAD) tidak
sepenuhnya dipercaya oleh Soeharto. Sugiyono pernah menjadi ajudan Suharto
(1993-95) setelah Wiranto (1989-93). Bisa dipertanyakan, cukup lamakah
jabata n ajudan 2,5 tahun itu? Ternyata tidak, karena Sugiyono tidak
diangkat sehingga bisa dianggap cukup menjamin dia bakalan setia.
Sedangkan Wiranto, yang jadi ajudan hampir 5 tahun, itu dianggap cukup
setia pada Suharto. Mungkin kesetiaan Sugiyono sedang d iuji oleh Suharto?
Dengan mengangkat Sugiyono sebagai Wakasad, mungkin itu berarti dia
ditugaskan oleh Suharto sendiri untuk memata-matai gerak-gerik kelompok
Prabowo. Seperti halnya waktu Wiranto jadi Kasad maka Subagyo (sebagai
Wakasad) yang disuruh mem ata-matai Kelompok Wiranto. Atau waktu Hartono
jadi Kasad mata-matanya Suharto adalah FX Sujasmin.
Syafrie adalah lulusan terbaik Akabri angkatan-74 yang karirnya paling
cepat menanjak disamping Prabowo, teman seangkatan dia. Sjafrie sangat
dipercaya Suharto karena pernah jadi Danrem di Bogor, lalu jadi
Paswalpres, atau bodyguard, termasuk dalam perjal anan ke Jerman. Syafrie
dikenal dekat secara pribadi dengan Suharto. Mungkin loyalitas Sjafrie ini
langsung ke Suharto sendiri, bukan ke Prabowo. Jadi kalau Suharto 'pergi'
bisa jadi Sjafrie akan ganti posisi.
Sejarah naiknya Suharto tahun 65-66: setelah menumpas G-30-S, sebagai
Pangkostrad dia menggerakkan RPKAD (sekarang Kopassus) dan
Batalyon-batalyon Kostrad untuk menguasai Jakarta. Setelah menguasai
Jakarta dia membunuh ratusan ribu orang-orang PKI di Jate ng, Jatim, Bali
dan Sumut,mulai akhir Oktober sampai Desember 1965. Dia hancurkan kekuatan
yang mendukung Bung Karno. Setelah mengadakan pembunuhan itu tgl 10
Januari 1966 Suharto bikin Tritura lalu menggerakkan KAMI, KAPI, KAPPI,
dsb. Artinya dia mulai k onfrontasi langsung melawan Bung Karno. Sementara
itu secara berangsur-angsur dia menempatkan orang-orang yang lebih dekat
dengan dia di Kodam-kodam di Jawa sambil menggeser orang-orang yang setia
pada Bung Karno.
Dua jenderal dipakai untuk mengepung istana tgl 11 Maret: Kemal Idris
(Pangkostrad) dan Sarwo Edhie Wibowo (Dan Kopassus). Tiga jenderal yang
diutus Suharto ke Bogor untuk mendapat Supersemar (11 Maret 1966): Amir
Machmud (Pangdam Jaya), Basuki Rachmat (P angdam Brawijaya) dan Yusuf
(jenderal luar Jawa). Kemudian Suharto, sebagai pengemban Supersemar,
mengganti semua Pangdam Jawa, yang sedikit banyak toh masih mendukung
Sukarno, dengan jenderal-jenderal yang masuk kelompoknya: Ibrahim Adjie
dari Siliwangi diganti Dharsono, Suryo Sumpeno dari Diponegoro diganti
Surono, Pangdam Brawijaya diganti Sumitro. Setelah menguasai Jawa baru
Suharto berani jadi presiden.
Ada kemungkinan Kelompok Prabowo akan menjalankan strategi seperti itu.
Subagyo yang cukup senior (angkatan 70) akan membuka jalan untuk menaikkan
Kelompok Prabowo (angkatan 74 dan yang lebih muda) dengan mengganti
pangdam-pangdam di Jawa. Tapi ini sukar terjadi tanpa bentrokan intern
yang keras. Hanya kalau Pangab dan KSAD kompak maka pergantian pangdam
bisa lancar. Pangti (Panglima Tertinggi), yaitu Suharto, bisa ikut campur.
Tapi ini bisa bikin banyak jenderal sakit hati. Jaman Benny Murdani
(Pangab) d an Try Sutrisno (Kasad) begitu juga pada jaman Try (Pangab) dan
Edi Sudradjat (Kasad) itu pergantian lancar. Karena Pangab dan Kasad
pikirannya sama, mereka mengangkat orang-orang yang se-ide. Jaman Feisal
(Pangab) dan Wismoyo (Kasad) dan juga Hartono (Ka sad pengganti Wismoyo)
mutasi nggak lancar.
Para Letkol
Ada kemungkinan dinamika yang sama sekali berbeda akan muncul dari
kelompok perwira menengah yang sekarang Letkol dan Kolonel (Akabri
angkatan 76, 77 dan 78). Para Letkol ini sekarang menjadi Dan Yon (atau
Dandim di Kodam) dan yang Kolonel menjadi Dan Bri gif (atau Danrem). Umur
mereka awal 40-an. Ini umur yang berbahaya karena masih berani ambil
risiko dan punya pasukan yang mereka pimpin langsung. Dalam G-30-S tahun
1965 kita tahu komandannya, Letkol Untung, adalah Dan Yon-1 Cakrabirawa
dan orang keduany a adalah Kolonel Latief, Dan Brigif-1 Jaya. Yang
menyediakan Halim sebagai markas G-30-S adalah Mayor Suyono, Komandan
Pangkalan Halim. Yang masuk dalam gang Untung hampir semua pangkatnya
Kolonel, Letkol atau Mayor di Kodam Diponegoro.
Ini data lulusan Akabri menurut angkatannya: 1970 (437 orang), 71 (329),
72 (389), 73 (436), 74 (434), 75 (304), 76 (85), 77 (79), 78 (93) (Jurnal
Indonesia terbitan Cornell University No 63, April 1997). Sejak 1976,
jumlah lulusan Akabri itu cuma 85 oran g. Dalam situasi normal, ekonomi
lancar, dsb, kelompok perwira lulusan 76, 77 dan 78 itu akan menunggu
dengan sabar. Hampir semua pasti bisa jadi jenderal (artinya Brigjen ke
atas) di KODAM. Karena ada 10 kodam di Indonesia, setiap Kodam dipimpin
Mayjen dan butuh 4-5 Brigjen). Atau jadi jenderal di KOSTRAD yang punya
dua divisi (Divisi-1 di Jakarta dan Divisi-2 di Malang), setiap divisi
dipimpin Mayjen, dan butuh sekitar 4-5 Brigjen sebagai stafnya. Sebagian
bisa naik terus jadi Letjen di Mabes ABRI atau Mabes Angkatan Darat.
Jadi para lulusan Akabri setelah 1976 itu nggak usah 'mecem-macem' untuk
bisa jadi jenderal. Beda dengan senior-seniornya yang satu angkatan 400
orang. Kalau nggak macem-macem lulusan setelah 76 itu 5-6 tahun mendatang
pasti jadi jenderal. Setelah itu bis a hidup enak dengan program kekaryaan
Angkatan Darat yang punya banyak yayasan. Keluarga terjamin, rumah bagus,
anak bisa sekolah di luar negeri, dsb. Tapi akibat krisis ekonomi ini
situasinya jadi berubah sama sekali! Sekarang kelompok perwira menengah
itu umumnya belum sempet kaya, walaupun masing-masing sudah punya
cukongnya sendiri. Karena itu mereka masih merasakan penderitaan rakyat di
kalangan bawah. Kalau istrinya, anak-anaknya, saudaranya, atau orang
tuanya men geluh sembako, para perwira menengah ini masih bisa bersimpati,
dan merasakan kesedihan. Mereka juga belum sempat jadi ajudan Suharto,
belum sempat dilatih setia pada Keluarga Cendana.
Kalau keresahan akibat krisis ekonomi ini berlangsung beberapa minggu, ada
kemungkinan para perwira menengah ini akan bergerak sendiri, secara
independen, dan ini sangat membahayakan elite Angkatan Darat (contoh lain
selain G-30-S adalah pembangkangan par a kolonel luar Jawa dalam PRRI/
Permesta tahun 1958). Kemungkinan lain: mereka akan mendesak Kelompok
Wiranto untuk memimpin perubahan. Kalau sebelum krisis ekonomi ini mereka
bisa sabar menunggu 5-6 tahun lagi, maka setelah krisis terjadi, "Menunggu
5-6 tahun" belum tentu strategi yang baik untuk kepentingan mereka
sendiri.
Beda dengan gerak-gerik para jenderal (Kelompok Wiranto maupun Kelompok
Prabowo), apa yang dipikirkan oleh para Letkol dan Kolonel itu sukar
sekali ditebak. Sukar juga ditebak oleh komandannya. Yang pasti, diem-diem
mereka ngomong-ngomong dengan sesamanya . Topiknya bukan Sapta Marga,
tetapi "Gimana nasib kita?"
Singkat kata, dari sudut militer, situasi sekarang ini sangat kritis. Para
jenderal, baik kelompok Wiranto maupun kelompok Prabowo nggak bisa bikin
kudeta gaya Jawa ("Dapat surat perintah" dan "Mikul dhuwur mendhem jero").
Karena Wiranto menguasai Jawa se dangkan Prabowo menguasai Jakarta.
Sedangkan para Letkol dan Kolonel, yang betul-betul memimpin pasukan di
lapangan, bakal marah, mungkin akan bergerak sendiri kalau
jenderal-jenderalnya loyo.
Untung Yang Sial
Kalau Letkol Untung masih hidup, ini sepele saja. Jenderal-jenderal yang
loyo itu dia cemplungin ke sumur saja. Salahnya dia terlalu percaya
Suharto, bekas komandannya di Diponegoro yang tahun 1965 jadi Pangkostrad.
Dia laporkan semua rencana G-30-S ke Su harto. Bahkan sampai detik
terakhir, waktu jenderal-jenderal Mabes itu sedang diculik, Suharto
mendapat briefing langsung dari Kolonel Latief, wakil Komandan G-30-S.
Latief dekat dengan Suharto sejak revolusi, mereka sama-sama ngerjain
Serangan Umum di Yo gyakarta. Baik Latief maupun Untung pikir Suharto
berada dipihaknya. Eee, ternyata.....! ***
Yudhoyono Pernah Janji bahwa Kalla Tak Akan Maju
Dua jendral yang saling menuding dan saling menyerang ini akhirnya saling berhadapan namun dalam level yang berbeda. Kalau Wiranto mengatakan bahwa SBY pernah janji JK tidak akan maju entah kepada siapa (jelas kepada Wiranto lah), maka SBY pun pernah menyatakan Wiranto menyesatkan.
Nah kini mereka berdua saling berhadapan sebagai kandidat yang saling berseberangan.
Berikut data lengkap tentang Wiranto yang dihimpun dari berbagai sumber.
Kamis, 16 Desember 2004 | 10:28 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Pencalonan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar menuai kritik. Selain dari lawan politiknya di Beringin, kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan jika Kalla terpilih muncul dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional Amien Rais.Jika Kalla betul terpilih, Amien yakin akan terjadi konflik kepentingan tiga dimensi, yakni Kalla sebagai pebisnis, penguasa, dan politikus. "Jika sampai terjadi pada seorang wakil presiden, tentu akan berbahaya untuk pertumbuhan demokrasi dan penuntasan korupsi di Indonesia," kata dia dalam konferensi pers di kantor PAN, Rabu (16/12) Jakarta.
Dalam pernyataan "tanpa bermaksud mengintervensi" Musyawarah Nasional ke-7 Partai Golkar yang sedang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Amien menyarankan agar Kalla mengurungkan niatnya mencalonkan diri. Dia menilai, keputusan pemilik Grup Bosowa itu akan "berpengaruh kepada bangsa dan rakyat Indonesia".
Amien juga menyatakan tidak mengerti dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam masalah ini. Ia berpendapat, kondisi politik di Indonesia sangat ideal, yakni DPR beroposisi dengan pemerintah. Anggapan pencalonan Kalla sebagai cara Yudhoyono untuk merengkuh legislatif, menurut dia, juga sangat tidak tepat. "Seharusnya SBY (Yudhoyono) meminta Kalla untuk mundur sehingga tidak akan muncul permasalahan baru," kata dia.
Amien menganggap, rangkap jabatan yang dulu dia lakukan sebagai Ketua MPR dan Ketua Umum PAN berbeda dengan posisi Kalla. MPR, kata dia, adalah lembaga perwakilan yang terdiri dari banyak partai, berbeda dengan pemerintah yang mewakili bangsa. Ia yakin, pemerintahan akan macet dan menuai banyak kritik jika Kalla terpilih. "Kalau sampai terjadi, kita ucapkan selamat jalan saja," kata dia.
Kritik yang sama sebelumnya telah dilontarkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Ia mengaku khawatir jika Kalla terpilih akan muncul tarik-menarik kepentingan. Ia pun menyayangkan, tradisi partainya yang menanggalkan jabatan di partai setelah terpilih menjadi pejabat publik tidak dikuatkan menjadi undang-undang.
Di "dalam Beringin", Jenderal (Purn.) Wiranto, Rabu (16/12) mengingatkan Kalla untuk "memikirkan secara serius" pencalonannya. Ia juga mengingatkan para pengurus daerah pendukung Kalla bahwa sang wakil presiden sedang memegang jabatan penting di pemerintah. "Saya tak punya hak untuk melarang Pak Jusuf Kalla maju," kata Wiranto yang juga mencalonkan diri, "tapi dia punya jabatan yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Akan sulit dibedakan antara kader partai dan jabatannya."
Wiranto juga membuka pertemuannya dengan Yudhoyono dan Kalla beberapa waktu lalu. Menurut dia, pada pertemuan itu Yudhoyono menyatakan bahwa Kalla tak akan maju. Ditanya apakah dia merasa dibohongi Yudhoyono dan Kalla, mantan Panglima TNI itu menjawab, "Terserah saja, itu bahasa Anda."
Dia menegaskan, secara pribadi tak bisa melarang. Yang bisa melarang, menurut dia, hati nurani Kalla sendiri, karena "tanggung jawab ke publik itu berat". Apalagi, kata dia, rakyat sedang menanti-nanti janji kampanye Yudhoyono-Kalla, yaitu menjadikan Indonesia "aman, sejahtera, dan bebas korupsi".
Namun, Jusuf Kalla menjamin pencalonan dirinya tidak akan mengganggu kinerja pemerintah. Justru sebaliknya, kata dia, Golkar diharapkan bisa "sejalan dengan pemerintah" dalam melaksanakan berbagai program dan kebijakan pembangunan.
Jusuf mengatakan, dua alasan dirinya maju adalah "dinamika yang berkembang di lapangan" dan "desakan dari banyak pengurus Golkar tingkat provinsi". Dia memastikan telah membicarakan hal ini dengan Presiden Yudhoyono sebelum memutuskan untuk maju. "Mana mungkin wakil presiden tidak minta izin presiden untuk langkah-langkah seperti itu?" kata dia. "Presiden setuju."
Mantan Ketua Umum Golkar Harmoko juga menganggap, rangkap jabatan yang akan dilakukan Kalla tidak ada masalah. Ia menilai, rangkap jabatan tidak selamanya buruk. Ia menyebutkan, di sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura, ketua partai yang berkuasa menjadi pemimpin tertinggi negara.
Suliyanti/Rofiqi/Yura/Sutarto/Sapto/Jobpie/Sunu/Rahmadi?Tempo
-----------------------------------------------------------------------------------------
Apa Kata Wiranto
Selasa, 18 Mei 2004 | 21:02 WIB
TEMPO Interaktif"Damaikan Maluku, atau jangan kembali ke Jakarta sebelum berhasil!"
Wiranto kepada tim Khusus ABRI yang dibentuk pada Maret 1999, beranggotakan 19 personel perwira tinggi TNI dan Polri asal Maluku, bertugas membantu penyelesaian konflik Maluku.
"Di kala saya masih menghitung betapa beratnya tantangan tugas yang akan dipikul ABRI, masih pula saya harus menghadapi tuduhan bahwa perjalanan saya ke puncak pimpinan ABRI karena faktor nepotisme."
Wiranto dalam buku Bersaksi di Tengah Badai (2003).
"Pernyataan tersebut sangat mengherankan dan patut disesalkan, dan tidak semestinya diucapkan oleh seorang Ketua Umum Partai Golkar yang sedang berjuang memenangkan pemilu."
Peserta konvensi Partai Golkar, Wiranto, dalam jumpa pers di Hotel Ambhara Senin, 23 Februari 2004, sehubungan dengan pernyataan Akbar Tandjung tentang kesiapannya menjadi wakil presiden. Menurut Wiranto pernyataan Akbar seolah-olah mengkampanyekan PDIP sebagai pemenang dalam Pemilu 2004 mendatang.
"Sebagai penonton saya melihat, bahwa telah terjadi deviasi dari tujuan reformasi yang sebenarnya."
Wiranto dalam bedah buku "Bersaksi di Tengah Badai" di Hotel Sahid Makassar, Sabtu (9/8/2003).
"Tiap warga negara punya hak sama dalam politik dan hukum. Selama Tutut memenuhi syarat-syarat maju sebagai calon presiden, harus diberi kesempatan. Nantinya, rakyat yang menentukan siapa pilihan mereka."
Wiranto tentang rencana Siti Hardiyanti Rukmana maju sebagai calon presiden, yang dikatakan di Jakarta, Minggu (14/12/2003).
"Saudara-saudara, di sini saya tidak akan mengobral janji karena rakyat sudah tidak bias dibohongi, betul! Rakyat sudah tidak bisa dibeli, betul! Rakyat hanya minta bukti, betul."
Wiranto dalam kampanye Partai Golkar di Gelora Pantjasila, Surabaya, Kamis (18/3/2004).
"Dan terkadang saudara, preman lebih berkuasa daripada kepolisian."
Wiranto tentang bangsa Indonesia yang belum mampu menjamin keamanan warganya. Penjahat masih bebas berkeliaran di jalanan dan prvokator masih bisa mencari makan di jalanan. Itu dikatakan dalam kampanye Partai Golkar di Gelora Pantjasila, Surabaya, Kamis (18/3/2004).
"Pemerintahan Mega kurang bisa memperhatikan kebutuhan rakyat. Maka bila saya menjadi presiden mendatang, saya berjanji akan mendekatkan rakyat kepada pemerintah. Karena rakyat dan pemerintah merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan."
Wiranto kepada wartawan di Hotel JW Marriott, 18 Maret 2004.
"Saya akan berantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Saya akan perberat sanksi hukuman, diperberat hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati."
Wiranto, 28 Maret 2004, di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, sebelum kampanye di Pemalang, Jawa Tengah.
"Saya kira tak akan ada seseorang pemimpin yang merasa senang bila menyaksikan rakyatnya banyak yang tewas dalam konflik berkepanjangan dan tidak jelas tujuannya. Kecuali pemimpin itu seorang psikopat atau mempunyai niat jahat yang dengan sengaja dan memanfaatkan konflik dan kesusahan masyarakat untuk kepentingannya sendiri."
Kutipan dari tulisan Jenderal (Purn) Wiranto yang berjudul Mengatasi Ledakan Kekerasan dan Konflik Lokal (19 April 2004) dalam situs http://www.wiranto.com.
"Saya berkeyakinan bahwa netralitas TNI sudah menjadi komitmen yang tidak dapat ditawar-tawar lagi."
Wiranto dalam tulisannya “Reformasi Internal TNI, Suatu Keharusan”, 04 Mei 2004.
"Saya sangat tersentuh. Sesaat setelah saya menyampaikan pidato singkat itu, terjadi suatu pemandangan yang sangat mengharukan. Teriakan "Allahu Akbar!", "Allahu Akbar!", bersahut-sahutan."
Wiranto setelah berpidato tentang penghapusan Daerah Operasi Militer (DOM) pada 7 Agustus 1998, di Lhokseumawe, Aceh. Disampaikan dalam tulisan WIRANTO dan Isu Pelanggaran HAM di Aceh (Sebuah pernyataan Wiranto) 07 Mei 2004.
"Tuduhan-tuduhan itu biasa, asalkan kita tak melakukan tuduhan itu."
Wiranto tentang tuduhan pelanggaran HAM berat, yang dikatakan di Medan, Sumatra Utara, Sabtu (15/5/2004).
"Saya juga ingin memperbaiki kinerja badan intelijen kita dan kerja sama antara kepolisian Indonesia dengan negara lain. Karena terorisme sudah begitu meluas dan global hingga sulit dibasmi tanpa kerja sama internasional. Saya tidak ingin terorisme di Indonesia baik sebagai obyek maupun sebagai basis gerakan."
Pandangan Wiranto tentang langkah-langkah memerangi terorisme. Dimuat di http://www.wiranto.com.
"Jadi cara satu-satunya adalah menghukum pelaku korupsi dengan keras, bahkan (kalau hukum kita dapat mengijinkan) ditembak mati."
Pandangan Wiranto tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, dimuat di http://www.wiranto.com.
"Kebijakan ekonomi yang akan diimplementasikan pemerintah baru 2004-2009 mencakup:
1. Meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan standar pendapatan.
2. Memperbaiki ketidaksesuaian dalam masalah ekonomi dan sosial. 3. Mereformasi iklim investasi.
4. Mereformasi sektor industri.
5. Mereformasi sektor pertanian.
6. Mereformasi Sistem Usaha Kecil dan Menengah.
7. Mereformasi sektor perbankan.
8. Mereformasi sistem perpajakan.
9. Meningkatkan pendapatan dari sektor migas.
10. Meningkatkan pendapatan dari sektor lainnya.
11. Memperkuat kerjasama internasional."
Wiranto tentang apa kebijakan ekonomi yang direncanakan. Dimuat di http://www.wiranto.com.
Pusat Data dan Analisa Tempo
-----------------------------------------------------------------------------------------
Wiranto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 4 April 1947; umur 62 tahun [1]) adalah seorang politikus Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Wiranto menjabat Panglima TNI periode 1998-1999. Ayahnya, RS Wirowijoto adalah seorang guru sekolah dasar, dan ibunya bernama Suwarsijah. Pada usia sebulan, Wiranto dibawa pindah oleh orang tuanya ke Surakarta akibat agresi Belanda yang menyerang kota Yogyakarta. Di Surakarta inilah ia kemudian bersekolah hingga menamatkan Sekolah Menengah Pertama.
Karir militer
Namanya melejit setelah menjadi ADC Presiden Suharto tahun 1987-1991. Setelah sebagai ajudan presiden, karir militer Wiranto semakin menanjak ketika tampil sebagai Kasdam Jaya, Pangdam Jaya, Pangkostrad, dan KSAD.Selepas KSAD, ia ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Pangab (sekarang Panglima TNI) pada Maret 1998. Pada masa itu terjadi pergantian pucuk kepemimpinan nasional. Posisinya yang sangat strategis menempatkannya sebagai salah satu pemain kunci bersama Wakil Presiden B.J. Habibie. Ia tetap dipertahankan sebagai Pangab di era Presiden Habibie.
Karir sipil
Kariernya tetap bersinar setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tampil sebagai presiden keempat Indonesia. Ia dipercaya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, meskipun kemudian dinonaktifkan dan mengundurkan diri. Pada 26 Agustus 2003, ia meluncurkan buku otobiografi dengan judul Bersaksi di Tengah Badai.Setelah memenangi konvensi Partai Golkar atas Ketua Umum Partai Golkar Ir. Akbar Tandjung, ia melaju sebagai kandidat presiden pada 2004. Bersama pasangan kandidat wakil presiden Salahuddin Wahid, langkahnya terganjal pada babak pertama karena menempati urutan ketiga dalam pemilihan umum presiden 2004.
Menyosong Pemilu 2009
Pada 21 Desember 2006, ia mendeklarasikan Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura) dan tampil sebagai ketua umum partai. Deklarasi partai dilakukan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta dan dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan. Mantan presiden Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum Partai Golkar Ir Akbar Tandjung, mantan wakil presiden Try Sutrisno, Ketua Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Ryamizard Ryacudu, mantan menteri perekonomian Kwik Kian Gie, dan tokoh senior Partai Golkar Oetojo Oesman menghadiri peresmian partainya.Deklarasi partai juga dihadiri sejumlah pengurus, yaitu mantan Sekjen Partai Golkar Letnan Jenderal TNI (Purn) Ary Mardjono, mantan Gubernur Jawa Tengah Ismail, mantan menteri pemberdayaan perempuan DR Hj. Tuty Alawiyah AS, Yus Usman Sumanegara, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) Subagyo HS, mantan Wakil Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) H. Fachrul Razi, mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi (Purn) Chaeruddin Ismail, Marsda TNI (Purn) Budhi Santoso, Letnan Jenderal (Purn) Suadi Marasabessy, Mayor Jenderal TNI (Purn) Aspar Aswin, Laksda TNI (Purn) Handoko Prasetyo RS, Mayor Jenderal TNI (Purn) Aqlani Maza, Mayor Jenderal (Purn) Djoko Besariman, Mayor Jenderal (Purn) Iskandar Ali, Samuel Koto, dan mantan menteri keuangan Fuad Bawazier, pendiri Partai Bintang Reformasi Djafar Badjeber, pengacara Elza Syarief, Gusti Randa, dan pengusaha asuransi Jus Usman Sumaruga.
Pada 17 Januari 2007, ia bertemu dengan Ketua DPR-RI Agung Laksono di Komplek MPR/DPR, Senayan (Jakarta). Pertemuan itu menjadi langkah awal dalam menyosong Pemilu Presiden 2009. Ia menyatakan kesiapannya berhadapan kembali dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika mencalonkan kembali.
Pendidikan
- Akademi Militer Nasional (AMN), 1968
- Universitas Terbuka, Jurusan Administrasi Negara, 1995
- Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Militer, 1996
Organisasi
- HANURA (Partai Hati Nurani Rakyat), Ketua Umum
- Perhimpunan Kebangsaan, Ketua Dewan Pertimbangan Nasional
- Matla’ul Anwar, Ketua Dewan Amanat
- ICMI, Penasehat
- SOKSI, Penasehat
- PSSI, Ketua Dewan Pembina
- IDe Indonesia, Ketua Dewan Eksekutif
- PPMI, Ketua
- Paguyuban Kepala Desa dan Perangkat Desa (PRAJA), Pembina
- Paguyuban Warung Tegal, Ketua Dewan Pembina
- Paguyuban Spiritual Indonesia, Pembina
Didahului oleh Tarub | Pangkostrad 4 April 1996 - 20 Juni 1997 | Digantikan oleh Soegijono |
Didahului oleh Edi Sudradjat | Panglima TNI 1998-1999 | Digantikan oleh Widodo AS |
Didahului oleh R. Hartono | Kepala Staf TNI Angkatan Darat 1997-1998 | Digantikan oleh Subagyo HS |
Didahului oleh Feisal Tanjung | Menkopolkam 1999-2000 | Digantikan oleh Soerjadi Soedirdja |
Didahului oleh {{{before}}} | Anggota Dewan Penasihat SOKSI 2005 – sekarang | Digantikan oleh sedang menjabat |
Didahului oleh Tidak Ada | Ketua Umum Partai Hanura 21 Desember 2006-Sekarang | Digantikan oleh Sedang Menjabat |
Buku dan Karya:
- Bersaksi di Tengah Badai Penerbit: Institite for Democracy of Indonesia, Jakarta. ISBN 979-96845-I-X
Referensi
Pranala luar
Catatan kaki
- ^ http://www.hanura.com/content/view/30/28/ Profil Ketua Umum Partai Hanura
Tulisan Terkait tentang Wiranto
Forwarded message:
From owner-indonesia-l@indopubs.com Sat Feb 28 17:21:50 1998
Date: Sat, 28 Feb 1998 15:21:21 -0700 (MST)
Message-Id: <199802282221.PAA26769@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@clark.net
Subject: [INDONESIA-L] Wiranto, Prabowo & Para Letkol
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com
To: "'Apa kabar Indonesia-L, John Mc Dougal'" <apakabar@clark.net>
Subject: Wiranto, Prabowo & Para Letkol
Date: Fri, 27 Feb 1998
Prospek Konflik Pasca-S.U.-M.P.R:
Wiranto, Prabowo dan para Letkol
oleh Ben Soeparman di Singapura
Pengantar Redaksi:
ABRI di bawah Pangab (lama) Jendral Feisal Tanjung dikenal sebagai rezim
ABRI paling jinak (docile) sepanjang zaman. Kerjanya nuruuut terus kepada
Pangti Jendral pur. Soeharto. Maka tak perlu mengherankan, ABRI-nya Feisal
betul betul menjadi "Satpam-nya P residen Soeharto". Meski begitu Soeharto
toh curiga dan licik. Baru minggu terakhir menjelang SU MPR, Soeharto
mencopoti rezim Feisal dan menggantikannya dengan rezim Wiranto/Prabowo.
Begitu sing-kat waktu peralihan (bahkan baru Pangab yang diganti, sedan g
Pangkostrad dan Dan Kopassus baru diganti setelah SU MPR) sehingga orang
orang baru tidak sempat menyusun gerak gerik untuk mencubit dan mendongkel
Soeharto-Habibie. Jadi SU MPR boleh diduga bakal lancar, tetapi jangan
kira Soeharto-Habibie bakal mulus teruus. Nah di sini lah analisa berikut
yang disusun oleh Ben Soeparman dari Singapura, dengan gaya ala
Ben-Andersonian, mencoba melayangkan pandangan menerobos ke depan.
Titik tolak dalam mengamati gerak-gerik militer adalah sifat organisasinya
yang top-down. Karena sifat itu maka untuk bisa menguasai militer
dibutuhkan semacam klik atau kelompok inti yang anggotanya cukup 15 orang
saja. Saat ini ada dua klik dalam Angkat an Darat: kelompok Wiranto yang
ingin reformasi atau perubahan yang bertahap, pelan-pelan, dan kelompok
Prabowo yang juga berbicara ingin melaksanakan perubahan, tetapi di balik
itu Prabowo tetap bertekad melindungi kepentingan Keluarga besar Cendana.
Mes ti kita ingat, Keluarga Cendana paling kaya sedunia. Tidak
mengherankan kalau Kelompok Prabowo memiliki dana yang tidak terbatas!
Kedua kelompok ini aktif sekali mencari dukungan sipil untuk memperkuat
posisi mereka dalam pertarungan kekuasaan internal Angkatan Darat ini.
Prabowo bertandang ke mana-mana dan mengundang orang-orang untuk
mendengarkan pembicaraannya. Begitu juga Susil o Bambang Yudhoyono yang
dianggap sebagai juru bicara Kelompok Wiranto. Seperti Prabowo, Bambang
juga menyatakan ingin berbicara dengan semua orang yang bersedia bertemu
dengannya.
Ada sembilan jabatan paling penting di lingkungan Angkatan Darat. Mutasi
paling akhir adalah sebagai berikut:
1. PANGAB (Wiranto, Akabri 69)
2. KSAD (Subagyo, 70)
3. PANGKOSTRAD (Prabowo, 74)
4. DANJEN KOPASSUS (Muchdi, 70)
5. PANGDAM JAYA (Sjafrie Syamsudin, 74)
6. KASUM (Fachrul Razi, 70)
7. KASSOSPOL (Susilo Bambang Yudhoyono, 73)
8. PANGLIMA DIVISI-1 KOSTRAD (?, markasnya di Jakarta)
9. KEPALA BIA (Zacky Anwar Makarim, 71)
Jenderal Jenderal
Kelompok Wiranto (Pangab) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Kassospol) akan
menguasai Mabes ABRI di Cilangkap. Sedangkan kelompok Prabowo (Subagyo,
Prabowo, Muchdi, Sjafrie dan Zacky) akan menguasai Mabes Angkatan Darat di
Merdeka Barat. Selain jabatan di Mab es ABRI dan Mabes Angkatan Darat itu
posisi paling penting adalah Pangdam di Jawa: Siliwangi, Diponegoro dan
Brawijaya. Sekarang ini, ketiga Pangdam itu dianggap termasuk kelompoknya
Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Pangdam-pangdam di luar Jawa tidak
menentukan kalau terjadi perebutan kekuasaan di Jakarta.
Dengan komposisi sekarang Kelompok Prabowo menguasai Jakarta dan
sekitarnya. Sedangkan Kelompok Wiranto berpengaruh di luar Jawa. Kondisi
seperti ini menguntungkan Suharto karena tidak ada satu kelompokpun yang
cukup kuat untuk bisa memaksakan Supersemar versi 1998. Kemungkinan kudeta
versi Jawa itu bisa diperkecil. Kelompok Prabowo bisa menguasai Jakarta.
Tapi lalu bisa apa kalau daerah di luar Jakarta kemudian bergolak?
Kelompok Wiranto tidak menguasai Jakarta. Padahal Supersemar hanya mungkin
kalau mer eka dapat persetujuan militer di Jakarta. Tanpa itu tidak
mungkin!
Yang belum bisa dipastikan adalah posisi Sugiyono, bekas Pangkostrad yang
sekarang dijadikan Wakasad, dan Sjafrie Syamsudin, Pangdam Jaya. Dengan
mengangkat Subagyo menjadi KSAD, berarti Sugiyono yang semestinya
menduduki jabatan ini (kalau melihat karir Suharto, Wismoyo, dan Wiranto
sendiri yang semuanya naik dari Pangkostrad langsung menjadi KSAD) tidak
sepenuhnya dipercaya oleh Soeharto. Sugiyono pernah menjadi ajudan Suharto
(1993-95) setelah Wiranto (1989-93). Bisa dipertanyakan, cukup lamakah
jabata n ajudan 2,5 tahun itu? Ternyata tidak, karena Sugiyono tidak
diangkat sehingga bisa dianggap cukup menjamin dia bakalan setia.
Sedangkan Wiranto, yang jadi ajudan hampir 5 tahun, itu dianggap cukup
setia pada Suharto. Mungkin kesetiaan Sugiyono sedang d iuji oleh Suharto?
Dengan mengangkat Sugiyono sebagai Wakasad, mungkin itu berarti dia
ditugaskan oleh Suharto sendiri untuk memata-matai gerak-gerik kelompok
Prabowo. Seperti halnya waktu Wiranto jadi Kasad maka Subagyo (sebagai
Wakasad) yang disuruh mem ata-matai Kelompok Wiranto. Atau waktu Hartono
jadi Kasad mata-matanya Suharto adalah FX Sujasmin.
Syafrie adalah lulusan terbaik Akabri angkatan-74 yang karirnya paling
cepat menanjak disamping Prabowo, teman seangkatan dia. Sjafrie sangat
dipercaya Suharto karena pernah jadi Danrem di Bogor, lalu jadi
Paswalpres, atau bodyguard, termasuk dalam perjal anan ke Jerman. Syafrie
dikenal dekat secara pribadi dengan Suharto. Mungkin loyalitas Sjafrie ini
langsung ke Suharto sendiri, bukan ke Prabowo. Jadi kalau Suharto 'pergi'
bisa jadi Sjafrie akan ganti posisi.
Sejarah naiknya Suharto tahun 65-66: setelah menumpas G-30-S, sebagai
Pangkostrad dia menggerakkan RPKAD (sekarang Kopassus) dan
Batalyon-batalyon Kostrad untuk menguasai Jakarta. Setelah menguasai
Jakarta dia membunuh ratusan ribu orang-orang PKI di Jate ng, Jatim, Bali
dan Sumut,mulai akhir Oktober sampai Desember 1965. Dia hancurkan kekuatan
yang mendukung Bung Karno. Setelah mengadakan pembunuhan itu tgl 10
Januari 1966 Suharto bikin Tritura lalu menggerakkan KAMI, KAPI, KAPPI,
dsb. Artinya dia mulai k onfrontasi langsung melawan Bung Karno. Sementara
itu secara berangsur-angsur dia menempatkan orang-orang yang lebih dekat
dengan dia di Kodam-kodam di Jawa sambil menggeser orang-orang yang setia
pada Bung Karno.
Dua jenderal dipakai untuk mengepung istana tgl 11 Maret: Kemal Idris
(Pangkostrad) dan Sarwo Edhie Wibowo (Dan Kopassus). Tiga jenderal yang
diutus Suharto ke Bogor untuk mendapat Supersemar (11 Maret 1966): Amir
Machmud (Pangdam Jaya), Basuki Rachmat (P angdam Brawijaya) dan Yusuf
(jenderal luar Jawa). Kemudian Suharto, sebagai pengemban Supersemar,
mengganti semua Pangdam Jawa, yang sedikit banyak toh masih mendukung
Sukarno, dengan jenderal-jenderal yang masuk kelompoknya: Ibrahim Adjie
dari Siliwangi diganti Dharsono, Suryo Sumpeno dari Diponegoro diganti
Surono, Pangdam Brawijaya diganti Sumitro. Setelah menguasai Jawa baru
Suharto berani jadi presiden.
Ada kemungkinan Kelompok Prabowo akan menjalankan strategi seperti itu.
Subagyo yang cukup senior (angkatan 70) akan membuka jalan untuk menaikkan
Kelompok Prabowo (angkatan 74 dan yang lebih muda) dengan mengganti
pangdam-pangdam di Jawa. Tapi ini sukar terjadi tanpa bentrokan intern
yang keras. Hanya kalau Pangab dan KSAD kompak maka pergantian pangdam
bisa lancar. Pangti (Panglima Tertinggi), yaitu Suharto, bisa ikut campur.
Tapi ini bisa bikin banyak jenderal sakit hati. Jaman Benny Murdani
(Pangab) d an Try Sutrisno (Kasad) begitu juga pada jaman Try (Pangab) dan
Edi Sudradjat (Kasad) itu pergantian lancar. Karena Pangab dan Kasad
pikirannya sama, mereka mengangkat orang-orang yang se-ide. Jaman Feisal
(Pangab) dan Wismoyo (Kasad) dan juga Hartono (Ka sad pengganti Wismoyo)
mutasi nggak lancar.
Para Letkol
Ada kemungkinan dinamika yang sama sekali berbeda akan muncul dari
kelompok perwira menengah yang sekarang Letkol dan Kolonel (Akabri
angkatan 76, 77 dan 78). Para Letkol ini sekarang menjadi Dan Yon (atau
Dandim di Kodam) dan yang Kolonel menjadi Dan Bri gif (atau Danrem). Umur
mereka awal 40-an. Ini umur yang berbahaya karena masih berani ambil
risiko dan punya pasukan yang mereka pimpin langsung. Dalam G-30-S tahun
1965 kita tahu komandannya, Letkol Untung, adalah Dan Yon-1 Cakrabirawa
dan orang keduany a adalah Kolonel Latief, Dan Brigif-1 Jaya. Yang
menyediakan Halim sebagai markas G-30-S adalah Mayor Suyono, Komandan
Pangkalan Halim. Yang masuk dalam gang Untung hampir semua pangkatnya
Kolonel, Letkol atau Mayor di Kodam Diponegoro.
Ini data lulusan Akabri menurut angkatannya: 1970 (437 orang), 71 (329),
72 (389), 73 (436), 74 (434), 75 (304), 76 (85), 77 (79), 78 (93) (Jurnal
Indonesia terbitan Cornell University No 63, April 1997). Sejak 1976,
jumlah lulusan Akabri itu cuma 85 oran g. Dalam situasi normal, ekonomi
lancar, dsb, kelompok perwira lulusan 76, 77 dan 78 itu akan menunggu
dengan sabar. Hampir semua pasti bisa jadi jenderal (artinya Brigjen ke
atas) di KODAM. Karena ada 10 kodam di Indonesia, setiap Kodam dipimpin
Mayjen dan butuh 4-5 Brigjen). Atau jadi jenderal di KOSTRAD yang punya
dua divisi (Divisi-1 di Jakarta dan Divisi-2 di Malang), setiap divisi
dipimpin Mayjen, dan butuh sekitar 4-5 Brigjen sebagai stafnya. Sebagian
bisa naik terus jadi Letjen di Mabes ABRI atau Mabes Angkatan Darat.
Jadi para lulusan Akabri setelah 1976 itu nggak usah 'mecem-macem' untuk
bisa jadi jenderal. Beda dengan senior-seniornya yang satu angkatan 400
orang. Kalau nggak macem-macem lulusan setelah 76 itu 5-6 tahun mendatang
pasti jadi jenderal. Setelah itu bis a hidup enak dengan program kekaryaan
Angkatan Darat yang punya banyak yayasan. Keluarga terjamin, rumah bagus,
anak bisa sekolah di luar negeri, dsb. Tapi akibat krisis ekonomi ini
situasinya jadi berubah sama sekali! Sekarang kelompok perwira menengah
itu umumnya belum sempet kaya, walaupun masing-masing sudah punya
cukongnya sendiri. Karena itu mereka masih merasakan penderitaan rakyat di
kalangan bawah. Kalau istrinya, anak-anaknya, saudaranya, atau orang
tuanya men geluh sembako, para perwira menengah ini masih bisa bersimpati,
dan merasakan kesedihan. Mereka juga belum sempat jadi ajudan Suharto,
belum sempat dilatih setia pada Keluarga Cendana.
Kalau keresahan akibat krisis ekonomi ini berlangsung beberapa minggu, ada
kemungkinan para perwira menengah ini akan bergerak sendiri, secara
independen, dan ini sangat membahayakan elite Angkatan Darat (contoh lain
selain G-30-S adalah pembangkangan par a kolonel luar Jawa dalam PRRI/
Permesta tahun 1958). Kemungkinan lain: mereka akan mendesak Kelompok
Wiranto untuk memimpin perubahan. Kalau sebelum krisis ekonomi ini mereka
bisa sabar menunggu 5-6 tahun lagi, maka setelah krisis terjadi, "Menunggu
5-6 tahun" belum tentu strategi yang baik untuk kepentingan mereka
sendiri.
Beda dengan gerak-gerik para jenderal (Kelompok Wiranto maupun Kelompok
Prabowo), apa yang dipikirkan oleh para Letkol dan Kolonel itu sukar
sekali ditebak. Sukar juga ditebak oleh komandannya. Yang pasti, diem-diem
mereka ngomong-ngomong dengan sesamanya . Topiknya bukan Sapta Marga,
tetapi "Gimana nasib kita?"
Singkat kata, dari sudut militer, situasi sekarang ini sangat kritis. Para
jenderal, baik kelompok Wiranto maupun kelompok Prabowo nggak bisa bikin
kudeta gaya Jawa ("Dapat surat perintah" dan "Mikul dhuwur mendhem jero").
Karena Wiranto menguasai Jawa se dangkan Prabowo menguasai Jakarta.
Sedangkan para Letkol dan Kolonel, yang betul-betul memimpin pasukan di
lapangan, bakal marah, mungkin akan bergerak sendiri kalau
jenderal-jenderalnya loyo.
Untung Yang Sial
Kalau Letkol Untung masih hidup, ini sepele saja. Jenderal-jenderal yang
loyo itu dia cemplungin ke sumur saja. Salahnya dia terlalu percaya
Suharto, bekas komandannya di Diponegoro yang tahun 1965 jadi Pangkostrad.
Dia laporkan semua rencana G-30-S ke Su harto. Bahkan sampai detik
terakhir, waktu jenderal-jenderal Mabes itu sedang diculik, Suharto
mendapat briefing langsung dari Kolonel Latief, wakil Komandan G-30-S.
Latief dekat dengan Suharto sejak revolusi, mereka sama-sama ngerjain
Serangan Umum di Yo gyakarta. Baik Latief maupun Untung pikir Suharto
berada dipihaknya. Eee, ternyata.....! ***
Posting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan