iklan header
iklan header banner
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

FORBINA: PEMA Banyak Bicara, Nol Bukti—Itu Cet Langet!

Muhammad Nur: PT Pembangunan Aceh Klaim Akan Kelola 100rb HA Hutan & Raih Laba Hingga Rp 3T per Tahun? 

Muhammad Nur, Direktur FORBINA (Forum Bangun Investasi Aceh). 

ACEH, Kandidat2  — PT Pembangunan Aceh (PEMA), BUMD yang bergerak di sektor energi, industri, perdagangan, dan lingkungan, kembali mengumumkan langkah “strategis” untuk menggarap potensi karbon di kawasan hutan dan lahan kritis Aceh.

Tak tanggung-tanggung, mereka mengklaim akan mengelola 100 ribu hektare hutan dan mendulang keuntungan hingga Rp3 triliun per tahun.

Namun bagi publik yang paham peta kehutanan Aceh, ini bukan strategi—ini delusi.

Direktur Bangun Investasi Aceh bahkan menyebut rencana ini sebagai program strategis.

Tapi pertanyaannya sederhana dan serius: di mana letak 100 ribu hektare itu? Muhammad Nur, Direktur Eksekutif FORBINA (Forum Bangun Investasi Aceh), menyebut klaim itu tak lebih dari "cet langet" — omong kosong belaka.

“Jangankan 100 ribu, cari 5 ribu hektar hutan yang benar-benar bebas dari kepentingan masyarakat adat, hutan desa, kemitraan, atau izin usaha saja sudah susah. Hutan-hutan itu sudah dibagi habis,” tegas Muhammad Nur.

Faktanya, Aceh memiliki 3,5 juta hektare hutan, tapi sudah dibebani oleh berbagai skema: Kawasan Ekosistem Leuser 2,2 juta ha, hutan desa 47.594 ha, hutan adat 105.147 ha.

Sisanya terbagi ke dalam hutan lindung 1,7 juta HA, hutan produksi 711 ribu HA, hutan produksi terbatas 141 ribu HA, dan konversi 1,05 juta HA, termasuk Cagar Alam, TNGL, Tahura, Taman Buru dan APL.

Sebagai informasi, Cagar Alam adalah kawasan suaka alam dengan kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem yang perlu dilindungi.

TNGL adalah Taman Nasional Gunung Leuser, kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan menjadi habitat beberapa spesies langka.

Tahura adalah Taman Hutan Raya yang berfungsi untuk koleksi tumbuhan dan satwa, serta dimanfaatkan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata.

APL adalah Area Penggunaan Lain, kawasan yang digunakan untuk kepentingan umum selain kawasan konservasi.

Belum lagi ribuan hektar yang telah diubah untuk perkebunan sawit, tambang, hingga proyek energi yang sah secara hukum.

“Lalu dari mana PEMA mau ambil lahannya? Sudahkah mereka duduk bersama dengan Bappeda, DLH, atau para pemilik hak atas hutan dan lahan? Atau hanya klaim sepihak yang tidak pernah diverifikasi?” tanya Nur tajam.

Lebih ironis lagi, wacana bisnis karbon ini bukan barang baru. Sudah diisukan sejak masa Gubernur Irwandi Yusuf. Kala itu, wacana mengambil bagian dari program karbon Norwegia (REDD+) juga tidak pernah terealisasi.

Kini, PEMA kembali muncul dengan dua jalur: melalui BPDLH dan kerja sama dengan pihak swasta, tapi sampai sekarang, struktur kelembagaan, aktor bisnis, hingga tenaga ahli kehutanan dan lingkungan hidup di PEMA pun tak jelas batang hidungnya.

Sementara itu, DLH Aceh justru sudah menjalankan Program Kampung Iklim dan berhasil mencairkan dana sebesar USD 1,7 juta atau sekitar Rp27 miliar tahun ini.

Program konkret yang menyentuh masyarakat langsung. Bandingkan dengan PEMA yang hanya menyebar narasi uang triliunan tanpa peta wilayah, data hukum, atau kejelasan teknis.

“Mengklaim 3 triliun setahun tanpa dasar yang jelas adalah bentuk penyesatan publik. Ini bukan narasi ekonomi hijau—ini manipulasi harapan rakyat Aceh. Angin semua.” tutup Muhammad Nur. [■] 

Reporter: NurMuhammad - TimRedaksi - Editor: DikRizal/
Kandidat Calon Walikota Bekasi Heri Koswara
iklan header

Post a Comment

Silakan beri komentar yang baik dan sopan

أحدث أقدم
Pimpinan DPRD Kota Bekasi