Ratchanok Intanon Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 di China |
Pebulutangkis berusia 18 tahun tersebut dilahirkan oleh sepasang buruh pabrik, namun namanya melambung tinggi beberapa hari terakhir.
Dalam sebuah pertandingan yang sangat menegangkan, Ia berhasil mengalahkan Li Xuerui, juara Olimpiade asal Cina, untuk menjadi juara Kejaraan Dunia Bulutangkis 2013 di Guangzhou, Minggu kemarin.
Selasa kemarin, ia bertemu dengan Perdana Menteri Thailand, Yingluck Shinawatra, untuk menerima hadiah 2 juta baht ($64,000) atas kemenangannya. Ia juga telah diundang sebagai bintang tamu sejumlah acara talk show di televisi, dan difoto oleh salah satu majalah paling bergengsi.
Kepala kepolisian Bangkok, Selasa kemarin, bahkan menantangnya melalui siaran radio untuk bertanding, dan menjanjikan hadiah 500,000 baht ditambah kulkas. Ratchanok pun telah menerima tantangan tersebut, dan dia akan bertanding melawan Letnan Jendral Kamronwit Toopkracha, Rabu sore.
“Saya hanya ingin bermain melawannya, meskipun hanya satu pertandingan,” kata Letjen Kamronwit, 60, ketika dihubungi melalui telpon.
Sementara itu, pakar olah raga meninggikan Ratchanok sebagai masa depan dunia badminton karena kelihaiannya dalam memukul kok. Ratchanok sendiri memiliki ambisi yang sangat tinggi. “Saya ingin menjadi nomor satu di dunia dalam waktu satu atau dua tahun, dan untuk memenangkan medali emas pada Olimpiade di Rio de Janeiro,” katanya kepada wartawan sekembalinya ke Thailand.
Kemenangan Ratchanok kembali memberikan tantangan baru bagi negara-negara yang mendominasi badminton seperti Cina, Korea Selatan dan Indonesia. Sejumlah negara mulai bermunculan sebagai kekuatan baru, terutama di nomor putri.
India memiliki Saina Nehwal, 23 tahun, yang berhasil memenangkan medali perunggu pada Olimpiade London tahun lalu. Sementara Juliane Schenk terus membawa Jerman menempati posisi atas di peringkat dunia. Di nomor putra, Lee Chong Wei terus mengharumkan nama Malaysia, sementara Tommy Sugiarto terus memperjuangkan bendera Indonesia di tingkat turnamen internasional.
Semua ini membantu membangkitkan semangat pecinta badminton di Thailand dan di kawasan Asia.
Luasnya liputan media pun kian menambah daya tarik olah raga ini. Juni lalu, India memperkenalkan Liga Badminton untuk menyaingi popularitas liga-liga kriket di sana. Namun, Cina masih merupakan penyumbang tersubur pemain-pemain terbaik di dunia, berkat banyaknya talenta di sana, serta komitmen pemerintah untuk mendanai program pengembangan yang baik.
Fakta bahwa Ratchanok berhasil mengalahkan pemain Cina membuat kemenangannya lebih mencolok. Namun, yang justru sangat berkesan adalah seberapa cepat Ratchanok melesat ke papan atas olah raga tersebut, mengingat asal usulnya yang sangat sederhana.
Orang tuanya pergi meninggalkan desa Yasothon untuk pindah ke Bangkok, mencari peruntungan yang lebih baik sebagai buruh pabrik manisan bernama Banthongyod. Di pabrik itulah Ratchanok pertama kali berkenalan dengan dunia badminton, pada umur 6 tahun.
Pemilik pabrik tersebut, Kamala Thongkorn, membangun sebuah lapangan badminton untuk anaknya. Ketika Kamala melihat Ratchanok dan anak-anak buruh lainnya berlarian di antara air mendidih dan karamelisasi gula, ia pun mendorong anak-anak tersebut untuk belajar bermain bulu tangkis. Ratchanok berhasil menguasai olah raga itu dengan cepat, dan ia sering bertanding melawan pemain-pemain lebih tua yang juga bekerja di pabrik tersebut.
Ia berhasil memenangkan turnamen pertamanya pada usia 7 tahun. Ketika berumur 14, ia menjadi pemain termuda yang memenangkan kejuaraan dunia junior di Malaysia. Tahun lalu, Ratchanok berhasil mencapai final All England Open di London. Namun, kemenangan Minggu kemarinlah yang mengukuhkanya sebagai juara dunia termuda sepanjang masa.
Kepada para wartawan di Bandara Suvarnabhumi, Minggu, Ratchanok mengatakan kekalahannya di London mengubahnya, dan memberikan kekuatan mental yang sebelumnya belum ia kuasai.
“Sekarang sudah sangat berbeda — saya jauh lebih kuat,” katanya.
Sejauh ini, Ratchanok menggunakan uang kemenangannya untuk membantu orang tuanya, Winutchai Inthanon dan Kuman Suvarasara, serta adik lakinya. Di antaranya, ia membantu bapaknya membuka gerai makanan, dan orang tuanya saat ini menjadi manajer sebuah kompleks badminton di dekat pabrik tempat mereka bekerja.
Dengan lebih banyak penghargaan dan tawaran sponsor yang masuk, gaya hidup Ratchanok diperkirakan akan mengalami perubahan drastis.
Ia telah menerima karangan bunga dari keluarga kerajaan Thailand, dan juga menerima penghargaan sebagai “Anak Berbakti” pada perayaan nasional Hari Ibu, Senin lalu. Ia juga mendominasi headline halaman-halaman olah raga dari Singapura sampai Shanghai. Hal ini menghapus citra buruk Thailand setelah dua pebulutangkisnya yang bertanding di nomor ganda harus dipisahkan ketika berkelahi di lapangan pada Kanada Terbuka di Vancouver bulan lalu.
Keberhasilan Ratchanok juga berpotensi memicu aliran dana bagi olah raga tersebut di Thailand. Di negara itu, badminton sepopuler di Indonesia, Cina dan India, namun kerap gagal menghasilkan juara dunia.
“Kami telah menunggu hal ini terjadi selama 63 tahun sejak Asosiasi Badminton Thailand didirikan. Ini pertama kalinya kami memiliki juara,” kata Charoen Wattasion, mantan ketua asosiasi tersebut.
Popularitas badminton di Thailand meroket setelah Olimpiade 2012. Patama Leesawadtrakul, ketua asosiasi badminton Thailand saat ini, mengatakan banyak sekolah yang mulai memperkenalkan program-program badminton. Sementara penjualan aksesoris badminton di negara tersebut naik antara 15-20%.
Setelah kemenangan Ratchanok, kata Patama, “dampaknya bisa lebih hebat.”
Selasa kemarin, ia bertemu dengan Perdana Menteri Thailand, Yingluck Shinawatra, untuk menerima hadiah 2 juta baht ($64,000) atas kemenangannya. Ia juga telah diundang sebagai bintang tamu sejumlah acara talk show di televisi, dan difoto oleh salah satu majalah paling bergengsi.
Kepala kepolisian Bangkok, Selasa kemarin, bahkan menantangnya melalui siaran radio untuk bertanding, dan menjanjikan hadiah 500,000 baht ditambah kulkas. Ratchanok pun telah menerima tantangan tersebut, dan dia akan bertanding melawan Letnan Jendral Kamronwit Toopkracha, Rabu sore.
Ratchanok Intanon menerima hadiah dari Yingluck Shinawatra. |
Sementara itu, pakar olah raga meninggikan Ratchanok sebagai masa depan dunia badminton karena kelihaiannya dalam memukul kok. Ratchanok sendiri memiliki ambisi yang sangat tinggi. “Saya ingin menjadi nomor satu di dunia dalam waktu satu atau dua tahun, dan untuk memenangkan medali emas pada Olimpiade di Rio de Janeiro,” katanya kepada wartawan sekembalinya ke Thailand.
Ratchanok berpose dengan Sindhu P.V. asal India dan Bae Yeon Ju asal Korea Selatan. |
India memiliki Saina Nehwal, 23 tahun, yang berhasil memenangkan medali perunggu pada Olimpiade London tahun lalu. Sementara Juliane Schenk terus membawa Jerman menempati posisi atas di peringkat dunia. Di nomor putra, Lee Chong Wei terus mengharumkan nama Malaysia, sementara Tommy Sugiarto terus memperjuangkan bendera Indonesia di tingkat turnamen internasional.
Semua ini membantu membangkitkan semangat pecinta badminton di Thailand dan di kawasan Asia.
Luasnya liputan media pun kian menambah daya tarik olah raga ini. Juni lalu, India memperkenalkan Liga Badminton untuk menyaingi popularitas liga-liga kriket di sana. Namun, Cina masih merupakan penyumbang tersubur pemain-pemain terbaik di dunia, berkat banyaknya talenta di sana, serta komitmen pemerintah untuk mendanai program pengembangan yang baik.
Fakta bahwa Ratchanok berhasil mengalahkan pemain Cina membuat kemenangannya lebih mencolok. Namun, yang justru sangat berkesan adalah seberapa cepat Ratchanok melesat ke papan atas olah raga tersebut, mengingat asal usulnya yang sangat sederhana.
Orang tuanya pergi meninggalkan desa Yasothon untuk pindah ke Bangkok, mencari peruntungan yang lebih baik sebagai buruh pabrik manisan bernama Banthongyod. Di pabrik itulah Ratchanok pertama kali berkenalan dengan dunia badminton, pada umur 6 tahun.
Pemilik pabrik tersebut, Kamala Thongkorn, membangun sebuah lapangan badminton untuk anaknya. Ketika Kamala melihat Ratchanok dan anak-anak buruh lainnya berlarian di antara air mendidih dan karamelisasi gula, ia pun mendorong anak-anak tersebut untuk belajar bermain bulu tangkis. Ratchanok berhasil menguasai olah raga itu dengan cepat, dan ia sering bertanding melawan pemain-pemain lebih tua yang juga bekerja di pabrik tersebut.
Ia berhasil memenangkan turnamen pertamanya pada usia 7 tahun. Ketika berumur 14, ia menjadi pemain termuda yang memenangkan kejuaraan dunia junior di Malaysia. Tahun lalu, Ratchanok berhasil mencapai final All England Open di London. Namun, kemenangan Minggu kemarinlah yang mengukuhkanya sebagai juara dunia termuda sepanjang masa.
Kepada para wartawan di Bandara Suvarnabhumi, Minggu, Ratchanok mengatakan kekalahannya di London mengubahnya, dan memberikan kekuatan mental yang sebelumnya belum ia kuasai.
“Sekarang sudah sangat berbeda — saya jauh lebih kuat,” katanya.
Sejauh ini, Ratchanok menggunakan uang kemenangannya untuk membantu orang tuanya, Winutchai Inthanon dan Kuman Suvarasara, serta adik lakinya. Di antaranya, ia membantu bapaknya membuka gerai makanan, dan orang tuanya saat ini menjadi manajer sebuah kompleks badminton di dekat pabrik tempat mereka bekerja.
Dengan lebih banyak penghargaan dan tawaran sponsor yang masuk, gaya hidup Ratchanok diperkirakan akan mengalami perubahan drastis.
Ia telah menerima karangan bunga dari keluarga kerajaan Thailand, dan juga menerima penghargaan sebagai “Anak Berbakti” pada perayaan nasional Hari Ibu, Senin lalu. Ia juga mendominasi headline halaman-halaman olah raga dari Singapura sampai Shanghai. Hal ini menghapus citra buruk Thailand setelah dua pebulutangkisnya yang bertanding di nomor ganda harus dipisahkan ketika berkelahi di lapangan pada Kanada Terbuka di Vancouver bulan lalu.
Keberhasilan Ratchanok juga berpotensi memicu aliran dana bagi olah raga tersebut di Thailand. Di negara itu, badminton sepopuler di Indonesia, Cina dan India, namun kerap gagal menghasilkan juara dunia.
“Kami telah menunggu hal ini terjadi selama 63 tahun sejak Asosiasi Badminton Thailand didirikan. Ini pertama kalinya kami memiliki juara,” kata Charoen Wattasion, mantan ketua asosiasi tersebut.
Popularitas badminton di Thailand meroket setelah Olimpiade 2012. Patama Leesawadtrakul, ketua asosiasi badminton Thailand saat ini, mengatakan banyak sekolah yang mulai memperkenalkan program-program badminton. Sementara penjualan aksesoris badminton di negara tersebut naik antara 15-20%.
Setelah kemenangan Ratchanok, kata Patama, “dampaknya bisa lebih hebat.”
Posting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan