iklan banner gratis
iklan header iklan header banner
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Excavator Lebih Tahu Hukum dari Pengacara!?

Kata Kades Ada Putusan PN Tenggarong, Kutai Kertanegara, Tapi Warga Bilang: Itu Nama Siapa Bang? Bukan Kami!

kandidat-kandidat.com Kamis, 7 Agt 2025, 12:42 WIB Yulia/SidR

Empat rumah dan usaha warga Desa Bukit Pariaman, Tenggarong, Kutau Kertanegara digusur oleh Kades atas nama putusan pengadilan. Tapi nama mereka tak pernah masuk dalam perkara. Siapa yang bertanggung jawab?

 — KUTAI KERTANEGARA | Pagi itu tanah di Desa Bukit Pariaman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Provinsi Kalimantan Timur, bergetar pelan.


Bukan karena gempa, tetapi lantaran suara berat mesin excavator yang bergerak mantap. Dalam waktu singkat, empat bangunan rumah milik warga setempat rata dengan tanah.

Baca juga: Dipanggil Kapolsek, Pak Kades Malah Ngilang! Warga: Ini Kades Apa Ilusionis?

Tak ada peringatan. Tak ada surat perintah eksekusi. Bahkan, tak ada nama mereka dalam daftar perkara pengadilan yang dijadikan dasar penggusuran.


Dalam Bayang Excavator, Di Luar Putusan Pengadilan
Empat warga—Edi, Didik, Riski, dan Ivan—hanya bisa berdiri termangu menyaksikan rumah sekaligus tempat usaha mereka hancur tanpa ampun.

Semua terjadi pada tahun 2023, dan hingga kini mereka masih mencari jawaban:
  • Mengapa?
  • Siapa yang memerintahkan alat berat itu datang dan bekerja membumihanguskan tempat tinggal mereka?

Tak Pernah Jadi Tergugat, Tapi Rumah Hancur
Peristiwa ini berujung pada pertemuan lintas instansi di Mapolsek Tenggarong Seberang, 16 April 2025.

Hadir dalam pertemuan itu perwakilan dari Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kukar, Dinas Pertanahan Kukar, Kecamatan Tenggarong Seberang, dan tentu saja Kepala Desa Bukit Pariaman, Sugeng Riyadi.

Sugeng membeberkan bahwa penggusuran dilakukan atas dasar Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor 49/Pdt.G/2021/PN Trg, yang menurutnya menyatakan bahwa lahan tersebut adalah aset desa.

Karena itu, ia mengklaim berhak menertibkan bangunan yang berdiri di atasnya.

Masalahnya, kata para warga, mereka tidak pernah tahu soal perkara tersebut.

“Nama kami tidak ada dalam putusan pengadilan itu. Kami tidak pernah dipanggil sidang. Jadi, bagaimana bisa rumah kami ikut dihancurkan?” ujar Edi, salah satu korban penggusuran, kepada Kandidat2.com.


Penelusuran redaksi terhadap salinan putusan itu menguatkan klaim warga. Tak satu pun dari nama Edi, Didik, Riski, dan Ivan tercantum sebagai pihak tergugat, turut tergugat, apalagi penggugat. Dan mereka bukan bagian dari perkara tersebut—baik secara formil maupun materiil.

Putusan Tak Mengikat Pihak di Luar Perkara
Secara hukum, eksekusi putusan pengadilan hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perkara.

Itu ditegaskan dalam berbagai yurisprudensi, termasuk Putusan Mahkamah Agung Nomor 249K/Pid/2009, yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana jika menghancurkan rumah orang lain meskipun berada di atas tanah miliknya sendiri.

Ada pula aturan pidana yang mengancam pelaku pengrusakan bangunan, yakni Pasal 200 ayat (1) KUHP:

Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung atau bangunan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Sedangkan Pasal 406 ayat (1) KUHP menyebutkan:

“Barang siapa dengan sengaja melawan hukum menghancurkan, merusakkan... barang milik orang lain, diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”

Didik, korban lain yang rumahnya digusur, merasa telah diperlakukan semena-mena. 

“Kami seperti orang asing di tanah sendiri. Pemerintah desa seperti tutup mata dan telinga, seolah kami tidak pernah ada,” keluhnya.

Menurut Didik, rumah mereka berdiri sejak lama. Mereka bukan pendatang yang tiba-tiba mengokupasi lahan desa.

Bahkan sebagian dari mereka sempat mengurus izin tinggal informal dari RT dan RW setempat.
 
Aset Desa Masih dalam Proses?
Di hadapan perwakilan aparat penegak hukum dan instansi terkait, Kepala Desa Sugeng Riyadi menyatakan bahwa status lahan yang digusur masih dalam “proses aset deDesa

Namun ia tetap merujuk pada putusan PN Nomor 49/Pdt.G/2021/PN Trg sebagai dasar tindakan penggusuran.

Pernyataan ini menjadi paradoks: jika lahan tersebut belum sah secara administratif sebagai aset desa, bagaimana mungkin tindakan eksekusi dapat dijalankan secara sepihak?

Pertanyaan itu kini menggantung tanpa jawaban pasti.
 
Polisi Diminta Bertindak
Merasa tak mendapat perlindungan hukum dari pemerintah desa, para korban akhirnya melaporkan peristiwa ini ke Polres Kutai Kartanegara.

Mereka berharap kepolisian dapat menyelidiki aktor di balik penggusuran, menelusuri dasar hukum yang digunakan, dan menindak siapa pun yang melanggar prosedur hukum.

“Kami sudah buat pengaduan masyarakat (DUMAS) ke Polres Kukar. Kami hanya ingin keadilan, karena rumah kami hancur tanpa ada satu pun surat resmi. Ini bukan negara preman,” tegas Edi.

Redaksi telah mengirim permintaan wawancara kepada Kepala Desa Bukit Pariaman dan pihak-pihak terkait untuk menanggapi pernyataan para warga.

Namun hingga artikel ini diterbitkan, belum ada respons resmi.
 
Rakyat Kecil di Tengah Putusan Besar
Kisah Edi dan kawan-kawan adalah potret klasik nasib rakyat kecil yang tak jarang tersingkir di tengah tarik-menarik kepentingan atas nama “aset negara” dan “putusan hukum”.

Di atas kertas mereka bukan siapa-siapa. Tapi di tanah itu, mereka tinggal, hidup, dan mencari nafkah.

Mereka tak butuh belas kasihan. Mereka hanya ingin jawaban: rumah kami digusur oleh siapa, dan atas dasar apa? [■]
Reporter: Yuliana - Redaksi - Editor: DikRizal/JabarOL

Kandidat Calon Walikota Bekasi Heri Koswara
iklan header

Post a Comment

Silakan beri komentar yang baik dan sopan

Lebih baru Lebih lama
Banner Iklan Kandidat square 2025