Jakarta, dobeldobel.com
Selepas dari pemilihan calon anggota legislatif 9 April lalu ternyata masih banyak sekali peristiwa-peristiwa yang timbul dan menggambarkan bahwa betapa pemilu 2009 ini, rakyat Indonesia memang masih perlu banyak belajar untuk menjadi dewasa politik.
Kalo sebelum pemilu banyaknya calon pemilih kecewa karena alasan mereka sulit menemui para calon legislator yang hendak mereka pilih, terlepas apa kepentingan dan kebutuhan mereka (Ada yang mau "minta duit", ada yang mau kasih dukungan "asal" dikasih duit, ada yang murni mau kasih dukungan tanpa pamrih, ada yang memang mau sambung silaturrahmi, ada yang mau ketemu caleg karena mau wawancara profilnya dan "minta duit" huuuwh!!!!-- sidik rizal banget kan?).
Saat pemilu berlangsung, giliran para calon pemilih kecewa dan mereka tidak bisa ikutan mencontreng (atau nyoblos) karena tidak kebagian surat hak pilih dan tidak terdaftar hak pilih. Dan ini bukan saja merugikan si calon pemilih yang kehilangan hak suaranya sebagai warga negara, tapi juga berimbas ke para caleg, karena sang caleg merasa para pendukung potensialnya jadi berkurang. Tapi pihak KPU juga sebenarnya dirugikan kok... Terutama saat mereka menerima terima hujatan dari masyarakat bukan hanya kinerjanya yang dinilai amburadul, tidak penuh persiapan, kurang rapih dan lain sebagainya yang merah banget buku raportnya. KPU dirugikan karena mau nggak mau kerja mereka untuk penghitungan suara harus dilakukan lebih berat, lebih teliti dan bisa berulang-ulang demi keabsahan nilai jumlah suara yang akan dipublikasikan.
Bayangin aja... di KPUD tingkat Kelurahan saja mereka kerja siang malam kadang lewat hingga jam 12 malam (berarti jelang dini hari mao sholat shubuh kan?), mereka masih saja menghitung-hitung rekapitulasi perolehan suara. Banyak sekali saksi-saksi perwakilan parpol dan caleg yang ikut membantu justru tidak menambah cepat kinerja petugas KPU di setiap wilayahnya, namun malah menambah "lama" waktu kerja karena harus berulang-ulang karena mereka harus berhati-hati dan mengakomodir semua kepentingan. Alasan utamanya adalah hasil penghitungan suara berjalan DAMAI, TERBUKA, ADIL dan AKURAT.
Nah lalu kenapa kini seluruh lapisan masyarakat baik yang terkait langsung maupun tidak dengan proses jalannya pemilu 2009 jadi semakin tinggi temperatur emosinya. Padahal musuh sebenarnya setiap individu adalah setan (guru ngaji gue bilang syaithon yang terkutuk). Kata setan sendiri buat saya adalah mewakili dari sifat dan sikap seperti :
1. "kekecewaan yang berlebihan" karena kelelahan dalam kampanye
2. "ketidaksiapan" mental untuk menerima hal terburuk yang mungkin terjadi pasca pemilu
3. "ketidaktahuan" bahwa Pemilu Damai Indonesia 2009 adalah bertujuan untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia dalam menentukan masa depan.
4. "kedangkalan pemahaman" arti politik yang masih menganggap politik itu "kejam", "menghalalkan segala cara". Padahal politik itu adalah "menggunakan berbagai cara" dan bukan "menghalalkannya" dan politik itu bagai gelas kaca yang bening. Isi gelasnya tergantung dari sang pemakainya, apa mau diisi sirup merah, hijau, kuning, bahkan hitam atau abu-abu. Juga air butek menjijikkan atau bening tapi beracun yang mau diisikan ke dalam gelas, kan tergantung siapa yang ngisi. Jadi bukan salah gelasnya dong?
5. "ketidaksabaran" akan hasil prosesi demokrasi yang memang ndak terlalu "berkilau" ini.
6. "keterasingan" akan arti pemilu itu sendiri bagi orang-orang awam.
7. "keangkuhan" diri menyikapi sosok pelaku politik lainnya.
8. "pengabaian" atau "ketidakpedulian" dengan jalannya pemilu.
9. "kesibukan" yang luar biasa sehingga meninggalkan proses pemilu yang nggak lebih penting dari kebutuhan pokokya mencari nafkah.
10. "kekanak-kanakan" dalam mengikuti proses pemilu dalam setiap kesempatan
11. motivasi "jahat" untuk menghancurkan sendi-sendi demokrasi padahal ini bisa membahayakan keutuhan berbangsa dan bernegara.
12. kurangnya "prasangka baik" bahwa Tuhan memang sudah menentukan apa yang terbaik buat bangsa dan negara ini.
Mau dijabarin satu persatu? Wah ini bisa nambah waktu gue nulis dan pulsa internet. (Biar deh Allah yang mengganti dan membayar tulisan ini dengan laptop baru atau mobil mewah baru--- hoeksss! segitunya!)
Point pertama, "kekecewaan yang berlebihan". Kenapa selama ini setiap individuh (menggunakan istilahnya kartunis Dillbert penulis buku best seller AS, "Masa Depan" di mata tokoh kartun Dilbert. Judulnya lupa lagi...) selalu memasang tinggi estimasi target pencapaian. Sehingga ketika hasilnya tidak mencapai apa yang diinginkan, maka impact (pukulan) menyakitkan bersarang di dada dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Jadi kita maklum kan kenapa ada caleg yang meninggal dunia seketika di beberapa daerah sesaat setelah penghitungan suara sementara, hasil perolehan suaranya seuprit, bahkan kosong sama sekali. "Blegeeerrrrr!" kayak suara petir memecahkan gendang telinga mereka dan jantungpun stop bertugas secara mendadak. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun.
Point kedua, "ketidaksiapan" mental. Hampir mirip dengan di atas, cuma ketidaksiapan mental lebih pada menyikapi hasil yang sebaliknya. Saat jumlah suara mengindikasikan bahwa dia berpeluang aman untuk mendapatkan kursi, tapi ternyata partainya tidak mendapatkan jumlah kursi yang lumayan bisa membentuk satu fraksi di dewan. Maka keluarlah segala ucapan, tindakan yang "nggak terpuji" seperti menjelek-jelekan caleg lain yang berhasil duduk dengan istilah mereka mungkin melakukan "kecurangan" dan "keberuntungan semata". Sementara komentar kepada caleg yang gagal, mereka mengklaim, ini loh caleg-caleg yang nggak pantas dan terbukti wakyat tidak memilih mereka (lagi). Seolah sang caleg yang berada di atas angin ini, merasa dirinyalah yang "paling bersih".
Ini jelas "anekdot" bagi saya. Dia nggak pernah komentari hal baik tentang orang lain, kecuali dirinya. Saya bisa ngebayangin kalo ternyata penghitungan suaranya ternyata berbalik drastis tidak memposisikan dirinya di titik aman, pasti dia akan menyalahkan pihak KPU dan mungkin dia jadi "blingsatan" dan berkomentar "nguanehi" (kalo anda nggak ngerti tanya sama orang Jawa, apa artinya kata tersebut...). Masih banyak bangsa kita yang tidak siap menang dan tidak siap kalah (meskipun ada deklarasi yang ditandatangani mereka sendiri untuk pemilu damai... Ooh My God, plis deh bangsaku!)
Point ketiga, "ketidaktahuan" bahwa pemilu 2009 ini sebenarnya untuk kelanjutan hidup bangsa dan negara ini. Soalnya ini kan menentukan siapa wakil rakyat dan calon pemimpin negara ini 5 tahun ke depan. Baik buruknya proses penyelenggaraannya kan pasti sesuai dengan SItuasi, KONdisi, TOLeransi, PANdangan dan JANGkauan setiap individu rakyat Indonesia. (Saya harap jangan disingkat istilah di atas dibuat akronim, karena jadi nggak etis dan gak enak untuk dibaca... hehehehe, Sidik Rizal buanget neh!).
Artinya masih banyak rakyat kita yang "tidak tahu" situasi politik kita yang sebenarnya. Kita ini ada dalam situasi yang sangat peka, jadi kesalahan dikit aja, bisa menimbulkan konflik dan intrik serta gesekan yang bisa menimbulkan api membakar. PAHAMI ITU WAHAI SAUDARAKU. Setan nggak pernah suka kalau kita selalau damai dan bersatu.
Rakyat kita juga masih "tidak tahu" kondisi politik kita secara luas. Kita sebenarnya dalam kondisi yang sangat baik untuk sebuah pemilu demokratis dan damai di tahun pertama ini. Ya iyalah, kan Pemilu 2009 sejatinya adalah pemilu yang berdasarkan "suara terbanyak murni" pertama kali sepanjang sejarah bangsa ini. (Sebenarnya masa pasca kemerdekaan tahun 1945 hingga 1964 adalah juga masa pemilu yang "lumayan demokratis" seh. Cuma pemilu kali ini aja yang terasa dan dinilai lebih modern dan "sepantasnya" buat bangsa ini.
Rakyat kita masih ada yang "tidak tahu" toleransi terhadap sesama. Karena berpolitik yang santun seyogyanya (kenapa seh kalo make kata "sebenarnya", diganti dengan "seyogyanya"? emang 'yogya" selalu identik dengan "bener" yah?) harus tepa selira atau penuh toleransi, dan itu adalah inti demokrasi KAN? Lihat saja ketika saya menulis seorang caleg (kebetulan dia salah satu sahabat saya yang sifatnya sangat bertoleransi selama bergaul dengan saya, namanya RH). Eh dia diserang oleh lawan-lawan politiknya di tubuh internal kelompok (dan saya nggak bilang internal partai ya!) dengan kmentar-komentar pedas dan sangat provokatif, namun tidak dengan cara terbuka dan jantan. Saya sangat menyayangkan hal ini, tapi begitulah demorasi di Indonesia yang masih "penuh" ketidaktahuan politik.
Rakyat kita masih ada yang "tidak tahu" pandangan besar (big picture) tentang proses demokrasi dalam pemilu 2009 ini. Padahal gambaran besar dari penyelenggaran pesta demokrasi ini kan "mengakomodir" keinginan seluruh rakyat Indonesia, namun HARUS dengan kesepakatan bahwa apapun hasilnya itu adalah berdasarkan keputusan "suara terbanyak" (atau voting sebagai final keputusannya). Vox populi, vox Dei (katanya seh suara rakyat adalah suara Tuhan). Namun saat hal itu jadi hasil akhir, mereka sepertinya nggak mau "percaya" ini adalah suara Tuhan. (Saya lebih cenderung mengatakan, ini adalah "taqdir" Tuhan yang paling sesuai dengan bangsa ini, ye nggak seeeeeh?)
Rakyat kita masih aja ada yang "tidak tahu" jangkauan ke depan bangsa ini, dengan Pemilu 2009 yang "nggak bagus-bagus amat" buat permulaan kita melangkah. Tapi paling nggak, kan kita udah muu-la-yi (seperti lawakan khas Srimulat dulu... hihihi). Ya kita sudah me-muu-la-yi langkah bangsa ini tentukan siapa calon wakil dan pemimpin negara kita menjangkau MASA DEPAN... (keren MODE ON). Jadi sikapi bahwa kita HARUS bisa menjangkau ke sana secara bersama minus gontok-gontokan... okeh?
Point keempat, "kedangkalan pemahaman" bahwa politik itu jahat, kotor, keji dan lain sebaginya. Ya kalo mau jujur (emang dari tadi kita nggak jujur yah?). Arti politik itu sendiri kan "siasat" atau strategi bagaimana cara mencapai satu maksud tujuan dengan segala sumberdaya yang ada. Nah yang jadi masalah kadang istilah "menghalalkan" segala cara. Dan ini berarti mereka anggap para politisi itu bisa halalkan segala sesuatu yang sebenarnya "haram" untuk dilakukan. Nah inilah yang perlu kajian khusus. Ya iya dong, kan bisa saja kalo terminologi "menghalalkan" segala cara, berarti mengusik ranah (wilayah) haknya Tuhan dalam menentukan hal dan haram. Kalau memang ada politisi yang menghalalkan segala cara (dan kenyataannya mang ada), maka dia telah mengambil "hak" Tuhan dan itu bukannya kapasitasnya. Saya setuju hal itu!
(maaf ada urusan mendadak, bukan ke WC tapi bener-bener mendadak nanti tak terusno oceh?)
Sidik Rizal...
Selepas dari pemilihan calon anggota legislatif 9 April lalu ternyata masih banyak sekali peristiwa-peristiwa yang timbul dan menggambarkan bahwa betapa pemilu 2009 ini, rakyat Indonesia memang masih perlu banyak belajar untuk menjadi dewasa politik.
Kalo sebelum pemilu banyaknya calon pemilih kecewa karena alasan mereka sulit menemui para calon legislator yang hendak mereka pilih, terlepas apa kepentingan dan kebutuhan mereka (Ada yang mau "minta duit", ada yang mau kasih dukungan "asal" dikasih duit, ada yang murni mau kasih dukungan tanpa pamrih, ada yang memang mau sambung silaturrahmi, ada yang mau ketemu caleg karena mau wawancara profilnya dan "minta duit" huuuwh!!!!-- sidik rizal banget kan?).
Saat pemilu berlangsung, giliran para calon pemilih kecewa dan mereka tidak bisa ikutan mencontreng (atau nyoblos) karena tidak kebagian surat hak pilih dan tidak terdaftar hak pilih. Dan ini bukan saja merugikan si calon pemilih yang kehilangan hak suaranya sebagai warga negara, tapi juga berimbas ke para caleg, karena sang caleg merasa para pendukung potensialnya jadi berkurang. Tapi pihak KPU juga sebenarnya dirugikan kok... Terutama saat mereka menerima terima hujatan dari masyarakat bukan hanya kinerjanya yang dinilai amburadul, tidak penuh persiapan, kurang rapih dan lain sebagainya yang merah banget buku raportnya. KPU dirugikan karena mau nggak mau kerja mereka untuk penghitungan suara harus dilakukan lebih berat, lebih teliti dan bisa berulang-ulang demi keabsahan nilai jumlah suara yang akan dipublikasikan.
Bayangin aja... di KPUD tingkat Kelurahan saja mereka kerja siang malam kadang lewat hingga jam 12 malam (berarti jelang dini hari mao sholat shubuh kan?), mereka masih saja menghitung-hitung rekapitulasi perolehan suara. Banyak sekali saksi-saksi perwakilan parpol dan caleg yang ikut membantu justru tidak menambah cepat kinerja petugas KPU di setiap wilayahnya, namun malah menambah "lama" waktu kerja karena harus berulang-ulang karena mereka harus berhati-hati dan mengakomodir semua kepentingan. Alasan utamanya adalah hasil penghitungan suara berjalan DAMAI, TERBUKA, ADIL dan AKURAT.
Nah lalu kenapa kini seluruh lapisan masyarakat baik yang terkait langsung maupun tidak dengan proses jalannya pemilu 2009 jadi semakin tinggi temperatur emosinya. Padahal musuh sebenarnya setiap individu adalah setan (guru ngaji gue bilang syaithon yang terkutuk). Kata setan sendiri buat saya adalah mewakili dari sifat dan sikap seperti :
1. "kekecewaan yang berlebihan" karena kelelahan dalam kampanye
2. "ketidaksiapan" mental untuk menerima hal terburuk yang mungkin terjadi pasca pemilu
3. "ketidaktahuan" bahwa Pemilu Damai Indonesia 2009 adalah bertujuan untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia dalam menentukan masa depan.
4. "kedangkalan pemahaman" arti politik yang masih menganggap politik itu "kejam", "menghalalkan segala cara". Padahal politik itu adalah "menggunakan berbagai cara" dan bukan "menghalalkannya" dan politik itu bagai gelas kaca yang bening. Isi gelasnya tergantung dari sang pemakainya, apa mau diisi sirup merah, hijau, kuning, bahkan hitam atau abu-abu. Juga air butek menjijikkan atau bening tapi beracun yang mau diisikan ke dalam gelas, kan tergantung siapa yang ngisi. Jadi bukan salah gelasnya dong?
5. "ketidaksabaran" akan hasil prosesi demokrasi yang memang ndak terlalu "berkilau" ini.
6. "keterasingan" akan arti pemilu itu sendiri bagi orang-orang awam.
7. "keangkuhan" diri menyikapi sosok pelaku politik lainnya.
8. "pengabaian" atau "ketidakpedulian" dengan jalannya pemilu.
9. "kesibukan" yang luar biasa sehingga meninggalkan proses pemilu yang nggak lebih penting dari kebutuhan pokokya mencari nafkah.
10. "kekanak-kanakan" dalam mengikuti proses pemilu dalam setiap kesempatan
11. motivasi "jahat" untuk menghancurkan sendi-sendi demokrasi padahal ini bisa membahayakan keutuhan berbangsa dan bernegara.
12. kurangnya "prasangka baik" bahwa Tuhan memang sudah menentukan apa yang terbaik buat bangsa dan negara ini.
Mau dijabarin satu persatu? Wah ini bisa nambah waktu gue nulis dan pulsa internet. (Biar deh Allah yang mengganti dan membayar tulisan ini dengan laptop baru atau mobil mewah baru--- hoeksss! segitunya!)
Point pertama, "kekecewaan yang berlebihan". Kenapa selama ini setiap individuh (menggunakan istilahnya kartunis Dillbert penulis buku best seller AS, "Masa Depan" di mata tokoh kartun Dilbert. Judulnya lupa lagi...) selalu memasang tinggi estimasi target pencapaian. Sehingga ketika hasilnya tidak mencapai apa yang diinginkan, maka impact (pukulan) menyakitkan bersarang di dada dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Jadi kita maklum kan kenapa ada caleg yang meninggal dunia seketika di beberapa daerah sesaat setelah penghitungan suara sementara, hasil perolehan suaranya seuprit, bahkan kosong sama sekali. "Blegeeerrrrr!" kayak suara petir memecahkan gendang telinga mereka dan jantungpun stop bertugas secara mendadak. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun.
Point kedua, "ketidaksiapan" mental. Hampir mirip dengan di atas, cuma ketidaksiapan mental lebih pada menyikapi hasil yang sebaliknya. Saat jumlah suara mengindikasikan bahwa dia berpeluang aman untuk mendapatkan kursi, tapi ternyata partainya tidak mendapatkan jumlah kursi yang lumayan bisa membentuk satu fraksi di dewan. Maka keluarlah segala ucapan, tindakan yang "nggak terpuji" seperti menjelek-jelekan caleg lain yang berhasil duduk dengan istilah mereka mungkin melakukan "kecurangan" dan "keberuntungan semata". Sementara komentar kepada caleg yang gagal, mereka mengklaim, ini loh caleg-caleg yang nggak pantas dan terbukti wakyat tidak memilih mereka (lagi). Seolah sang caleg yang berada di atas angin ini, merasa dirinyalah yang "paling bersih".
Ini jelas "anekdot" bagi saya. Dia nggak pernah komentari hal baik tentang orang lain, kecuali dirinya. Saya bisa ngebayangin kalo ternyata penghitungan suaranya ternyata berbalik drastis tidak memposisikan dirinya di titik aman, pasti dia akan menyalahkan pihak KPU dan mungkin dia jadi "blingsatan" dan berkomentar "nguanehi" (kalo anda nggak ngerti tanya sama orang Jawa, apa artinya kata tersebut...). Masih banyak bangsa kita yang tidak siap menang dan tidak siap kalah (meskipun ada deklarasi yang ditandatangani mereka sendiri untuk pemilu damai... Ooh My God, plis deh bangsaku!)
Point ketiga, "ketidaktahuan" bahwa pemilu 2009 ini sebenarnya untuk kelanjutan hidup bangsa dan negara ini. Soalnya ini kan menentukan siapa wakil rakyat dan calon pemimpin negara ini 5 tahun ke depan. Baik buruknya proses penyelenggaraannya kan pasti sesuai dengan SItuasi, KONdisi, TOLeransi, PANdangan dan JANGkauan setiap individu rakyat Indonesia. (Saya harap jangan disingkat istilah di atas dibuat akronim, karena jadi nggak etis dan gak enak untuk dibaca... hehehehe, Sidik Rizal buanget neh!).
Artinya masih banyak rakyat kita yang "tidak tahu" situasi politik kita yang sebenarnya. Kita ini ada dalam situasi yang sangat peka, jadi kesalahan dikit aja, bisa menimbulkan konflik dan intrik serta gesekan yang bisa menimbulkan api membakar. PAHAMI ITU WAHAI SAUDARAKU. Setan nggak pernah suka kalau kita selalau damai dan bersatu.
Rakyat kita juga masih "tidak tahu" kondisi politik kita secara luas. Kita sebenarnya dalam kondisi yang sangat baik untuk sebuah pemilu demokratis dan damai di tahun pertama ini. Ya iyalah, kan Pemilu 2009 sejatinya adalah pemilu yang berdasarkan "suara terbanyak murni" pertama kali sepanjang sejarah bangsa ini. (Sebenarnya masa pasca kemerdekaan tahun 1945 hingga 1964 adalah juga masa pemilu yang "lumayan demokratis" seh. Cuma pemilu kali ini aja yang terasa dan dinilai lebih modern dan "sepantasnya" buat bangsa ini.
Rakyat kita masih ada yang "tidak tahu" toleransi terhadap sesama. Karena berpolitik yang santun seyogyanya (kenapa seh kalo make kata "sebenarnya", diganti dengan "seyogyanya"? emang 'yogya" selalu identik dengan "bener" yah?) harus tepa selira atau penuh toleransi, dan itu adalah inti demokrasi KAN? Lihat saja ketika saya menulis seorang caleg (kebetulan dia salah satu sahabat saya yang sifatnya sangat bertoleransi selama bergaul dengan saya, namanya RH). Eh dia diserang oleh lawan-lawan politiknya di tubuh internal kelompok (dan saya nggak bilang internal partai ya!) dengan kmentar-komentar pedas dan sangat provokatif, namun tidak dengan cara terbuka dan jantan. Saya sangat menyayangkan hal ini, tapi begitulah demorasi di Indonesia yang masih "penuh" ketidaktahuan politik.
Rakyat kita masih ada yang "tidak tahu" pandangan besar (big picture) tentang proses demokrasi dalam pemilu 2009 ini. Padahal gambaran besar dari penyelenggaran pesta demokrasi ini kan "mengakomodir" keinginan seluruh rakyat Indonesia, namun HARUS dengan kesepakatan bahwa apapun hasilnya itu adalah berdasarkan keputusan "suara terbanyak" (atau voting sebagai final keputusannya). Vox populi, vox Dei (katanya seh suara rakyat adalah suara Tuhan). Namun saat hal itu jadi hasil akhir, mereka sepertinya nggak mau "percaya" ini adalah suara Tuhan. (Saya lebih cenderung mengatakan, ini adalah "taqdir" Tuhan yang paling sesuai dengan bangsa ini, ye nggak seeeeeh?)
Rakyat kita masih aja ada yang "tidak tahu" jangkauan ke depan bangsa ini, dengan Pemilu 2009 yang "nggak bagus-bagus amat" buat permulaan kita melangkah. Tapi paling nggak, kan kita udah muu-la-yi (seperti lawakan khas Srimulat dulu... hihihi). Ya kita sudah me-muu-la-yi langkah bangsa ini tentukan siapa calon wakil dan pemimpin negara kita menjangkau MASA DEPAN... (keren MODE ON). Jadi sikapi bahwa kita HARUS bisa menjangkau ke sana secara bersama minus gontok-gontokan... okeh?
Point keempat, "kedangkalan pemahaman" bahwa politik itu jahat, kotor, keji dan lain sebaginya. Ya kalo mau jujur (emang dari tadi kita nggak jujur yah?). Arti politik itu sendiri kan "siasat" atau strategi bagaimana cara mencapai satu maksud tujuan dengan segala sumberdaya yang ada. Nah yang jadi masalah kadang istilah "menghalalkan" segala cara. Dan ini berarti mereka anggap para politisi itu bisa halalkan segala sesuatu yang sebenarnya "haram" untuk dilakukan. Nah inilah yang perlu kajian khusus. Ya iya dong, kan bisa saja kalo terminologi "menghalalkan" segala cara, berarti mengusik ranah (wilayah) haknya Tuhan dalam menentukan hal dan haram. Kalau memang ada politisi yang menghalalkan segala cara (dan kenyataannya mang ada), maka dia telah mengambil "hak" Tuhan dan itu bukannya kapasitasnya. Saya setuju hal itu!
(maaf ada urusan mendadak, bukan ke WC tapi bener-bener mendadak nanti tak terusno oceh?)
Sidik Rizal...
Saya sudah add link mas, mohon backlink blog sama. makasih
BalasHapusPosting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan