contoh iklan header
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Cawapres 2009: BOEDIONO

banner
Pak Boed yang Tidak Saya Kenal

Dalam kesaksiannya pada persidangan Paul Sutopo tujuh tahun silam, kepada hakim Boediono mengaku, ikut memberikan disposisi persetujuan pemberian fasilitas kliring terhadap bank bersaldo debit. Itu terjadi dalam rapat tanggal 15 Agustus 1997 tapi kata dia, dalam rapat direksi BI tanggal 20 Agustus 1997, dirinya tidak ikut memberikan disposisi.


oleh Rusdi Mathari
TAK seperti ekonom Faisal Basri yang mengaku mengenal Boediono, secara personal saya sama sekali tidak mengenal Boediono. Sebagai wartawan, saya hanya beberapa kali menemui Boediono untuk meminta informasi. Itu pun hanya door stop.

Kali pertama saya mencegat Boediono ketika dia menjabat Direktur II (Bidang Akuntasi) Bank Indonesia. Itu sekitar 1996 atau 1997-an. Waktu itu saya wartawan di InfoBank. “Pertemuan” kedua terjadi sekitar tujuh tahun silam, ketika saya melihat Boediono duduk di kursi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia bersaksi untuk perkara yang menempatkan Paul Sutopo (kolega Boediono semasa bekerja di BI) sebagai tersangka.

Seperti Faisal Basri yang menjuluki Boediono sebagai orang sederhana sejak kali pertama melihat Boediono, saya pun paham, Boediono memang sosok bersahaja meski saya tidak tahu persis, apakah kursi-kursi di rumahnya benar sudah banyak yang bolong atau tidak. Semua wartawan yang pernah berinteraksi dengan Boediono, saya kira juga paham karakter Boediono yang tak suka bicara banyak kecuali ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anggota DPR saat dicalonkan menjadi calon Gubernur BI, tahun silam.

Lalu seminggu belakangan, sebagian orang meributkan Boediono. Pemicunya pilihan Susilo Bambang Yudhoyono kepada Boediono sebagai calon wakil presiden pada pemilu presiden mendatang, informasinya sudah bocor sebelum dideklarasikan di Bandung. Boediono kata Faisal Basri lantas dituduh sebagai antek-antek Dana Moneter Internasional atau IMF, simbol neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya.

BLBI
Saya tidak tahu kebenaran dan ketidakbenaran tuduhan semacam itu. Yang saya tahu, Boediono cukup banyak meninggalkan cacatan sejak menjabat beberapa pos penting di bidang ekonomi dan moneter di negeri ini. Salah satunya adalah catatan tentang pengucuran Bantuan Likuditas Bank Indonesia alias BLBI.

Ia adalah skandal keuangan terbesar yang pernah terjadi di republik ini dan hingga sekarang, tak satu pun pejabat atau mantan petinggi Indonesia yang mengaku bertanggungjawab atas pengucurannya. Dradjad H. Wibowo, anggota DPR-RI menyebutkan, seluruh rangkaian BLBI itu sudah memangsa keuangan negara hingga Rp 700 triliun. Setiap tahun, dana APBN yang tergerus untuk membayar subsidi para bankir dan penerima BLBI itu tak kurang Rp 50 triliun. Dalam hitungan Dradjad, uang tunai milik negara yang digunakan untuk membayar utang pokok dan bunga yang ditaksir sudah menghabiskan Rp 300 triliun.

Ketika BPPN masih ada, suatu malam di pertengahan September 2002 saya menghadiri undangan dari salah satu pejabat lembaga itu. Acaranya berlangsung di Mercantile Club, Wisma BCA, Jalan Sudirman, Jakarta. Tak ada yang istimewa dari acara itu. Diskusi pun sebetulnya biasa-biasa saja.

Yang tidak biasa, salah satu pejabat lembaga itu mengungkapkan bahwa dari Rp 153,4 triliun (angka saat itu) BLBI yang dikucurkan BI, sebanyak 21 persen diantaranya ternyata tidak diikat dengan jaminan. Kalau pun ada, sebanyak 74 persen ternyata juga tidak diikat dengan asas legalitas. “Kami tidak tahu, kenapa BI bisa kebobolan seperti itu,” kata pejabat tadi.

Hal itu menurut dia, baru diketahui oleh BPPN setelah lembaga itu kembali mengutak-atik dokumen perihal BLBI sehubungan dengan rencana pemanggilan kembali Usman Admadjaja (pemilik Bank Danamon), salah satu konglomerat penerima BLBI. Ada beberapa debitur besar yang namanya tercantum sehubungan dengan penyerahan jaminan yang kurang itu tapi si pejabat BPPN tadi enggan menyebutkan nama para debitur itu ketika saya berusaha bertanya.

Namun waktu itu saya mendapatkan “bocoran.” Bob Hasan, Syamsul Nursalim, Usman Admadjaja, dan Kaharudin Ongko, merupakan deretan konglomerat yang masuk dalam daftar penerima BLBI tanpa jaminan itu. Salah satu indikasinya, penyerahan aset para taipan di zaman Orde Baru itu sudah bermasalah sejak awal. Contohnya soal tambak Dipasena milik Syamsul Nursalim yang ketika itu dinilai Rp 19 triliun.

Tentu saja, saya mengherankan temuan BPPN itu. Karena bagaimana mungkin lembaga sebesar BPPN yang didirikan sejak 1998 untuk mengurusi BLBI, ternyata baru mengetahui ketimpangan itu, setelah akan berakhir masa kerjanya empat tahun kemudian?

Soal temuan itu pun, BPPN sebetulnya bisa dikatakan sangat terlambat. Tiga tahun sebelum acara makan malam di Wisma BCA itu, BPK sudah mengungkapkan banyak ketimpangan antara BLBI dan jaminannya. Karena dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 54 bank, yang diikat dengan jaminan hanya senilai Rp 24 triliun. Sisanya, tidak jelas.

Ketidakjelasan aliran BLBI itu diikat jaminan atau tidak, antara lain terungkap dari pengucuran BLBI yang dialirkan lewat fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Fasilitas ini, ternyata tersalur tanpa analisis kondisi keuangan bank penerima. Contohnya SBPUK yang dikeluarkan lewat Surat Direksi No.30/50/Dir/UK tanggal 30 Desember 1997 atas dasar persetujuan presiden melalui Surat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneng) No. R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 27 Desember 1997.

Oleh BPK pemberian SBPUK kepada bank-bank bermasalah itu, dinilai, diberikan tanpa analisis terlebih dahulu atas kondisi keuangan bank yang bersangkutan. Padahal analisis layak tidaknya satu fasilitas keuangan diberikan kepada sebuah bank semacam itu merupakan tugas BI, tepatnya biro Urusan Pengawasan Bank (UPwB).

Biro itulah yang semestinya memberikan pertimbangan kepada direksi BI sebelum mengambil keputusan apakah suatu fasilitas layak atau tidak diberikan kepada bank. Terhadap fasilitas SBPUK yang diberikan kepada 54 bank, menurut BPK prosedur itu akan tetapi tidak dilakukan UPwB.

Ketiadaan pertimbangan UPwB itu, tentu tidak sesuai dengan persetujuan presiden tanggal 27 Desember 1997 lewat Mensesneng yang menyebutkan fasilitas SBPUK diberikan untuk mengatasi saldo debit bank yang memiliki harapan sehat. Lalu berdasarkan laporan tingkat kesehatan bank, belakangan diketahui pula sebagian besar bank penerima SBPUK ternyata memang tidak sehat bahkan sakit. Banyak diantaranya yang kemudian terbukti dinyatakan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU).

Tidak Ada Jaminan
Surat Mensesneg itu dikirim setelah sehari sebelumnya, Soedradjad Djiwandono, Gubernur BI kala itu— mengirim surat kepada presiden. Dalam surat tertanggal 26 Desember 1997, Soedradjad melaporkan perkembangan terakhir keadaan bank yang mengalami saldo debit yang terus membengkak sebagai akibat tekanan dari berbagai penarikan nasabah. Dalam surat itu, Soedradjad juga menjelaskan, untuk mencegah runtuhnya perbankan diperlukan penggantian saldo debit.

“Sambil menunggu kondisi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perbankan, BI, sekiranya disetujui, akan mengganti saldo debit dengan SBPUK sesuai dengan memo terlampir.” Begitulah isi surat Soedradjad. Memo yang dimaksud Soedradjad tak lain adalah memo bernomor MO-67/MK/97 yang dibuat Mar’ie Muhammad kepada Soedradjad tanggal 26 Desember 1997. Mar’ie waktu menjabat sebgai menteri keuangan.

Memo Mar’ie itu keluar, karena kabarnya, ada disposisi Presiden Soeharto yang meminta agar Bank Utama –milik Sigit dan Tommy— dimerger dengan Bank Harapan Sentosa (BHS) milik Hendra Rahardja, kakak Eddy Tanzil, maling dalam kasus Bapindo. Disposisi itu, katanya, juga disampaikan Mar’ie secara lisan dalam rapat Dewan Moneter. Berdasarkan memo itulah, Soedradjad lantas mengirim surat kepada Soeharto sebagai Presiden RI dan dijawab oleh Mensesneg dengan menyetujui saran Soedradjad.

Merujuk temuan Tim Auditor Internasional yang pernah digunakan BPPN, 54 bank penerima BLBI itu disebut-sebut banyak melakukan penyimpangan. Antara lain soal peyimpangan aset –nilai aset BBO rata-rata hanya 20 persen dari total kewajibannya— rekayasa dalam pemberian kredit, dana bank banyak digunakan untuk kepentingan pemegang saham pendiri, dan beberapa bank ternyata sudah mengalami kesulitan likuiditas jauh sebelum terjabdinya krisis.

Bank Nasional Dagang Indonesia atau BDNI misalnya. Bank milik Syamsul Nursalim itu ternyata masih tetap menyalurkan kredit baru kepada kepada grupnya sejumlah US$ 600 juta selama periode Mei-Oktober 1997. Dalam surat rahasia menteri keuangan nomor SR-328/MK/1998 kepada presiden, BDNI dilaporkan sudah meraup uang negara lewat BLBI berupa SBPUK dan saldo debit senilai Rp 27,6 triliun dengan aset hanya Rp 5,8 triliun. Total seluruh BLBI yang diterima BDNI dan Syamsul sekitar Rp 37 triliun.

Jaminannya menurut BI ada Rp 7 triliun tapi BPK hanya menemukan Rp 5,4 triliun atau dengan kata lain sebesar Rp 31,6 triliun tidak diikat dengan jaminan. Dari Rp 26,6 triliun BLBI yang dikucurkan kepada Bank BCA, juga diketahui yang tidak ada jaminannya mencapai Rp 22,6 triliun.

Bank Umum Nasional (BUN) milik Bob Hasan, hanya memberikan jaminan Rp 1,3 triliun dari Rp 12 triliun dana BLBI yang diterinya atau sebanyak Rp 10,7 triliun tidak ada jaminannya. Lalu ada Bank Danamon. Dengan Rp 23 triliun dana BLBI yang diterimanya, Usman Admadjaja sebagai pemilik lama, hanya menyerahkan jaminan sekitar Rp 3,7 triliun. Sebanyak Rp 19,8 triliun sisanya, menurut BPK tidak ada.

Peran Boediono
Lalu di mana peran Boediono? Saya tidak tahu persis. Dalam kesaksiannya pada sidang Paul Sutopo itu, kepada hakim Boediono mengaku, dia ikut memberikan disposisi persetujuan pemberian fasilitas kliring terhadap bank bersaldo debit. Itu terjadi dalam rapat tanggal 15 Agustus 1997 tapi kata dia, dalam rapat direksi BI tanggal 20 Agustus 1997, dirinya tidak ikut memberikan disposisi.

Temuan BPK menyebutkan, bersama-sama dengan Aulia Pohan, Dono Iskandar, Hendro Budianto, Heru Supraptomo, Iwan Ridwan Prawiranata, Miranda Swaray Goeltom dan Paul Sutopo, Boediono ikut memutuskan aliran dana BLBI kepada sejumlah bank, yaitu Bank Pelita dan Bank Umum Nasional.

Seperti dikutip Bisnis Indonesia, penyaluran dana BLBI kepada Bank Pelita, menurut laporan BPK, bukan saja hanya aneh melainkan juga ada unsur tindak pidana korupsi. Lembaga itu mencatat setidaknya ada empat hal yang menjadi tanda tanya.

Pertama, pemberian saldo debet sebelum 31 Desember 1997, dilakukan tanpa persetujuan direksi BI sebesar Rp 1,07 triliun. Kedua, pemberian SBPUK tidak sesuai dengan permohonan dari bank sebesar Rp 873,14 miliar. Ketiga, bank masih bersaldo debit setelah 12 Januari 1998 dan terjadi terus menerus sampai bank dibekukan 4 April 1998 sebesar Rp 48,72 miliar. Keempat, dana talangan valas hanya dijamin dengan warkat koreksi jumlah pembukuan rekening BPPN bukan surat berharga sebesar Rp 921,85 miliar.

Masih menurut Bisnis Indonesia, hasil audit atas penggunaan BLBI pada Bank Pelita itu juga menunjukkan ada penyimpangan yang berindikasi pidana korupsi. Indikasi pertama, dana BLBI digunakan untuk menutup kerugian transaksi valas antara bank dan PT TC, sebesar Rp 99,100 miliar.

Kedua, dana BLBI digunakan untuk pembayaran/pelunasan dana pihak ketiga terkait dan yang diduga terkait melalui rekening giro (rupiah) PT PAT, sebesar Rp 2,29 miliar. Ketiga, penggunaan dana BLBI untuk pelunasan kewajiban yang timbul dari penarikan dana (taking) yang melanggar ketentuan sebesar Rp 487,98 miliar. Keempat, pembayaran/pelunasan dana pihak ketiga terkait a.n. PT TC, sebesar Rp 38,44 miliar.

Kelima, dana BLBI digunakan untuk menutup kerugian transaksi valas sebesar Rp 394,42 miliar. Keenam, ekspansi kredit yang dibiayai dengan short term interborrowing yang akhirnya menggunakan dana BLBI, sebesar Rp 43,25 miliar.

Harian yang sama juga menyebutkan, untuk kasus BLBI Bank Umum Nasional, hasil audit BPK menunjukkan ada penyimpangan yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 4,02 triliun. Antara lain dana BLBI yang digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada nasabah pihak terkait sebesar Rp 23,60 miliar.

Dana BLBI juga digunakan untuk membiayai placement baru dalam pasar uang antar bank (PUAB) sebesar Rp 1,40 miliar termasuk nilai dalam valas sebesar US$ 202,2 juta. Itu belum termasuk, BLBI yang digunakan untuk pemberian fasilitas kredit/tagihan lainnya sebesar Rp 485,63 miliar dan merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah ada sebesar Rp 4,81 miliar.

Ada juga dana BLBI yang digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada nasabah pihak terkait sebesar Rp 23,60 miliar dan BLBI yang digunakan untuk membiayai lain-lain pengeluaran bank sebesar Rp 3,24 triliun.

Tanggal 28 November 2007, Komisi IX pernah meminta Boediono untuk menjelaskan soal BLBI itu. Dia hadir bersama mantan Menkeu Bambang Subianto, mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, Boediono (waktu itu Menko Perekonomian), mantan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita, mantan Menko Ekuin Hartarto, mantan Menkeu Bambang Sudibyo, dan mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie.

Waktu itu antara lain Boedino menjelaskan, dirinya mendukung digunakannya angka-angka BPK tapi dia meminta kasus itu tidak dibuka kembali karena akan menghabiskan banyak energi dan waktu. “Sebagai masukan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004, Dewan mempunyai hak sepenuhnya untuk mengoordinasikan, apalagi didukung oleh angka-angka BPK,” kata Boediono (lihat “BLBI: DPR Pertanyakan Perbedaan Depkeu dan BPK,” Suara Karya, 29 November 2007).

Dalam rapat itu, Boediono juga mengaku sebagai warga negara dan rakyat, dia sangat ingin membantu menyelesaikan masalah BLBI. “Sebagai mantan menkeu dan warga negara, saya sangat ingin membantu masalah yang ada di depan mata, yang dihadapi bapak-bapak dan ibu-ibu. Karena itu, saya komentari masalah ini,” kata Boediono.

Pernyataan Boediono itu menurut Suara Karya mendapat reaksi dari anggota DPR dan mantan menko dan menkeu yang hadir dalam rapat. Boediono dinilai terlalu mudah menyatakan sebagai warga negara atau rakyat, karena dia seharusnya juga ikut bertanggung jawab dalam kasus BLBI.

“Kalau sudah soal tanggung jawab, cepat sekali mengaku jadi rakyat. Padahal dia jadi pejabat di BI dan Departemen Keuangan sejak awal krisis, sehingga harus bertanggung jawab,” kata seorang mantan menteri yang hadir. (bersambung)

Bagian 2

Mengomentari kasus Syafrudin (mantan Ketua BPPN) yang menjadi tersangka dugaan korupsi penjualan aset PT Pabrik Gula Rajawali III, Gorontalo– Kwik mengungkapkan, Boediono sebagai anggota ex officio KKSK sebetulnya punya andil besar dan mengetahui semua penjualan aset-aset BPPN.

oleh Rusdi Mathari
Mengakhiri karir di Bank Indonesia, Boediono menjadi menteri untuk kali pertama di zaman pemerintahan B.J. Habibie. Dia diangkat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Sempat absen di masa Presiden Abdurrahman Wahid, Boediono kembali diangkat sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Megawati. Itu Jumat 10 Agustus 2001, atau sekitar dua pekan setelah parlemen menurunkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, 23 Juli 2001.

Sejak menjadi bagian dari orang-orang yang bisa menentukan “merah biru” perekonomian Indonesia, catatan penting tentang Boediono mulai semakin banyak. Salah satunya menyangkut penjualan 51 persen saham BCA kepada Farallon Capital Partners, 14 Maret 2002. Kwik Kian Gie kolega Boediono di Kabinet Gotong Royong bercerita, sehari sebelum bank itu dijual, rapat kabinet yang dipimpin oleh Megawati sebetulnya tak mengagendakan soal penjualan BCA.

Agenda rapat penjualan BCA baru muncul siang harinya usai rapat kabinet, ketika para menteri ekonomi berinisiatif mengadakan rapat terbatas di Gedung Departemen Kesehatan di Jalan Haji Rangkayo Rasuna Said, Jakarta. Di rapat itu Kwik yang menjadi Kepala Bappenas mengaku berdebat dengan Menko Ekonomi Dorodjatun Kuntjorojakti, Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan Boediono sebagai Menteri Keuangan.

Tiga menteri itu menyetujui agar BCA segera dijual sementara Kwik tidak setuju. Alasan Kwik kalau BCA harus dijual, maka obligasi rekap pemerintah di BCA harus terlebih dulu dikeluarkan. Hal itu penting, karena dalam pandangan Kwik, semua obligasi itu hanya digunakan sebagai instrumen bukan obligasi yang sebenarnya. Obligasi rekap adalah salah satu klausul letter of intent yang disodorkan oleh Dana Moneter Internasional, IMF kepada Indonesia.

Dengan kata lain, bila kelak banknya sudah sehat, obligasi pemerintah bisa ditarik kembali. Namun rupanya setelah bank-bank itu sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak bank-bank yang sudah sehat itu termasuk BCA harus dijual bersama obligasinya.

Hari itu rapat di Depkes juga menemui kebuntuan. Setelah dilanjutkan dengan rapat menteri-menteri bidang ekonomi, yang juga tidak bisa mencapai kata putus, soal penjualan BCA lalu diserahkan kepada menko ekonomi dan beberapa menteri lain. Kwik tidak masuk dalam daftar menteri itu. Dia baru tahu keesokan harinya, mayoritas saham BCA telah dijual kepada Farallon seharga Rp 1.775 per lembar saham atau total Rp 5,3 triliun meski di dalamnya terdapat tagihan pemerintah Rp 60 trilun. (lihat “Penjualan BCA,” Lentera Merah, 21 Juni 2008).

Bersama dengan 22 bank lain, BCA adalah penerima BLBI. Semula nilainya “hanya” Rp 26,59 triliun tapi setelah masuk ke BPPN dan menjadi tanggungan pemerintah, aliran dana BLBI yang masuk ke BCA meningkat menjadi lebih dua kali lipat atau mendekati Rp 60 triliun. Hingga dijual kepada Farallon itu, obligasi rekap yang harus ditanggung pemerintah di BCA sudah mencapai Rp 58,2 triliun.

Ada pun Farallon merupakan konsorsium yang dipimpin oleh Sarindo Holding Mauritus. Dalam dokumen BCA yang diterima BI disebutkan, pemegang saham terbesar BCA bukanlah Farallon melainkan Farindo Investment. Anggotanya antara lain Alaerca Invesment Limited yang sahamnya dimiliki pemegang saham PT Djarum.

KKSK
Sebagian kalangan waktu itu menuduh Kelompok Salim (Anthony Salim) berada di belakang konsorsium Farallon dengan menumpang Djarum. Dua tahun sebelumnya, perusahaan rokok itu diketahui memang telah membeli Salim Oleochemicals Group seharga US$ 127 miliar melalui Bhakti Investama Consortium. Pembelian itulah yang menghubungkan keberadaan Salim di balik Djarum.

Yang mengejutkan, para pemilik dan pemegang saham BCA kemudian juga mendapatkan surat keterangan lunas atas “utang-utang” pengucuran BLBI yang sudah mereka terima. Tentang surat lunas itu, kali pertama dicetuskan di Jimbaran, Bali, oleh Syafrudin Arsyad Temenggung, Ketua BPPN (2002-2004), saat bulan puasa 2002. Waktu itu Syafrudin, menawarkannya kepada Sudwikatmono, The Nin King, Anthony Salim, dan Ibrahim Risjad.

Mendiang Raymond van Beekum, Kepala Divisi Komunikasi BPPN ketika itu menyebut surat lunas itu sebagai realese and discharge. Itu semacam penghargaan bagi debitor yang dinilai koperatif dan yang tidak koperatif. Jika setelah diberi toleransi, para debitor bersedia membayar atau melunasi seluruh kewajibannya, BPPN akan memberi penghargaan dan membebaskan tuntutan hukum. Sebaliknya jika tidak, BPPN akan menyerahkan persoalannya kepada penyidik hukum. Dasar hukumnya adalah Inpres Nomor 8 Tahun 2002.

Menurut Kwik, instruksi itu dikeluarkan oleh Megawati, karena desakan dan paksaan BPPN dan Komite Kebijakan Sektor Keuangan alias KKSK (lihat “KKSK dan BPPN ‘Plintat-Plintut’ soal R&D,” Kompas, 1 April 2003). Lembaga yang disebut terakhir dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 177 Tahun 1999.

Lembaga itu diketuai oleh menko ekonomi dengan anggota antara lain menteri keuangan. Kwik dan Rizal Ramli yang pernah menjabat menko ekonomi karena itu juga pernah menjadi ketua KKSK. Pada masa pemerintahan Megawati, ketuanya adalah Dorodjatun dan Boediono sebagai anggota. Tugasnya merumuskan arah kebijakan pengelolaan bank dalam penyehatan dan aset bank yang diserahkan ke BPPN. Namun realitasnya peran KKSK tak sekadar penentu arah kebijakan BPPN melainkan malah lebih banyak berfungsi sebagai pengambil keputusan yang harus dilaksanakan BPPN.

Dalam beberapa kasus, KKSK bahkan terkesan getol mengeksekusi penyelesaian utang 50 kelompok usaha besar (obligor) di BPPN. Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh BPPN dengan debiturnya misalnya seketika bisa diubah oleh KKSK. Salah satu contohnya, yang sempat menjadi masalah ketika itu, menyangkut proses restrukturisasi utang PT Chandra Asri Petrochemical Center.

Dihentikan
Sebagai kreditor dan pemasok bahan baku Chandra Asri, Marubeni Corp. semula diminta oleh BPPN agar menambah kepemilikan sahamnya sebagai bagian dari penyelesaian utang Chandra Asri. Antara lain lewat konversi sebagian utang Marubeni, atau setara dengan konversi piutang BPPN sebesar US$ 425 juta kepada Chandra Asri. Namun belakangan, KKSK justru mengabulkan permintaan Marubeni.

Dari US$ 723,6 juta utang Chandra Asri, Marubeni hanya mengonversi US$ 100 juta. BPPN yang sejak awal menolak keinginan Marubeni, lalu menyerahkan masalah restrukturisasi utang Chandra Asri kepada KKSK.

Peran KKSK semakin kuat setelah menteri keuangan menerbitkan surat keputusan, Februari 2000, yang ditujukan kepada direksi bank BUMN dan Ketua BPPN. Dalam surat itu disebutkan, keputusan dan perjanjian restrukturisasi dan utang yang melebihi Rp 1 triliun harus di-acc menteri keuangan dan KKSK. Menurut Syafrudin, keputusan pemerintah itu ditegaskan dalam letter of intent Indonesia-IMF Mei 2000 (lihat “BPPN Memangkas Komisi Eksekusi,” Gatra, 31 Mei 2001).

Dalam soal surat lunas yang dikeluarkan BPPN itu, tak semua konglomerat mendapatkannya tapi Anhtony Salim termasuk yang beruntung. Dua bulan setelah BPPN dinyatakan bubar pada 27 Februari 2004, mantan pemilik BCA itu mengantongi surat lunas dari BPPN karena dianggap sudah menyelesaikan seluruh kewajibannya sebesar Rp 52,7 triliun.

Grup Salim dianggap telah menyerahkan 108 asetnya kepada BPPN pada 1998 untuk membayar kewajibannya sebagai eks pemilik BCA. Aset-aset itu ditangani oleh PT Holdiko Perkasa, perusahaan induk yang dibentuk untuk menampung aset-aset Grup Salim. Hasil yang diperoleh BPPN dari penjualan seluruh aset Salim sekitar Rp 20 triliun atau sekitar 37 persen dari tingkat pengembalian (recovery rate) yang seharusnya dikantongi BPPN.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden menggantikan Megawati, soal BLBI dan surat keterangan lunas itulah yang kembali dipersoalkan beberapa kalangan termasuk para anggota DPR. Melalui Kejaksaan Agung, pemerintah kemudian membentuk tim khusus penanganan BLBI. Anggotanya 35 orang, termasuk Jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap KPK dan sekarang mendekam di Penjara Cipinang, Jakarta. Tugas tim difokuskan kepada penyerahan aset oleh obligor BLBI, terutama mantan pemilik BCA dan BDNI.

Awalnya banyak yang berharap dengan tim khusus itu meski pada tanggal 29 Februari 2008 Kejaksaan Agung menghentikan semua penyelidikan kedua kasus yang diduga melibatkan Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim itu. Kendati diakui ada kerugian negara, Kejaksaan Agung menganggap tidak menemukan unsur melawan hukum yang dilakukan oleh Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim.

Bukan Ahli
Sebelum Kejaksaan Agung menutup kasus BLBI itu, Panitia Kerja Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham BLBI, DPR-RI, yang berlangsung 28 November 2007, sempat meminta penjelasan kepada semua menteri ekonomi periode 1999-2004. Mereka diundang semua termasuk Boediono.

Dalam rapat itu, salah anggota panitia Drajad H. Wibowo mengatakan, kasus BLBI harus diusut tuntas karena banyak mengandung hal misterius terutama menyangkut kewajiban para obligor dan kebijakan pemerintah yang selama ini belum pernah terungkap. Antara lain menyangkut pelepasan aset dan penerbitan surat keterangan lunas itu.

“Komisi XI memandang perlu ditelusuri dari awal, bagaimana ketika aset itu diserahkan, kenapa out of court setlement yang dipilih dan seterusnya, agar informasi menjadi lengkap. Semua menjadi satu garis yang bisa dipertanggungjawabkan. Kami tidak ingin angka yang disetujui nanti menjadi kasus lagi seperti sekarang, sehingga bermunculan nama-nama dan sebagainya,” kata Dradjad (lihat “ BLBI DPR Pertanyakan Perbedaan Depkeu dan BPK,” Suara Karya, 29 November 2007).

Menjawab anggota dewan, dalam rapat itu Boediono mengingatkan, pihak yang paling berwenang dan kompeten untuk menjelaskan semua hal tentang BLBI dan surat lunas itu adalah BPPN. “Kami bukan ahlinya. Tentu tidak bisa mengatakan mana angka yang bisa digunakan,” kata Boediono.

Mengomentari kasus Syafrudin (mantan Ketua BPPN) yang menjadi tersangka dugaan korupsi penjualan aset PT Pabrik Gula Rajawali III, Gorontalo, Kwik mengungkapkan, Boediono sebagai anggota ex officio KKSK sebetulnya punya andil besar dan mengetahui semua penjualan aset-aset BPPN. ”Pak Boediono kalau gentle dan bertanggungjawab, seharusnya menjelaskan kasus BPPN yang kini ditangani kejaksaan. Jangan diam saja (dalam kasus Syafruddin),” kata Kwik (lihat “Kwik: Kasus BPPN, Boediono Ikut Bertanggungjawab,” Rakyat Merdeka, 13 Februari 2006)

Nilai aset Pabrik Gula Rajawali III, sebetulnya mencapai Rp 600-an miliar tapi oleh BPPN seharga Rp 90-an miliar pada era Megawati. Dorodjatun dan Rini S Suwandi (mantan Menteri Perindustrian) yang pernah duduk di KKSK sempat ikut diperiksa dalam perkara itu tapi belum dengan Boediono. (bersambung)

Bagian 3

Merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 junto Perpres No. 111 /2007 tentang Daftar Negatif Investasi, investasi asing pada bisnis telekomunikasi jaringan tetap (fixline) ditetapkan maksimal sebesar 45 persen. Namun Indosat rupanya merupakan pengecualian. Kali pertama Indosat dijual kepada STT (Temasek) 15 Desember 2002, menteri BUMN waktu itu dijabat oleh Laksamana Sukardi (sekarang menjadi petinggi di Partai Demokrasi Pembaruan, pecahan PDIP, yang sekarang juga merapat ke Yudhoyono) dan Boediono sebagai menteri keuangan.

oleh Rusdi Mathari
Sebelum reformasi, tak ada yang memerhatikan nama Boediono, kecuali majalah Ummat yang menjelang runtuhnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998, pernah menempatkannya sebagai orang yang pantas menjadi Gubernur Bank Indonesia. Saat itu Boediono adalah Direktur II (Bidang Akuntasi) BI. Dia kemudian mulai menarik perhatian ketika Presiden B. J. Habibie melantiknya sebagai Kepala Bappenas.

Nama Boediono semakin menjadi perhatian, saat dia lantik Presiden Megawati sebagai menteri keuangan, Jumat 10 Agustus 2001. Habis masa jabatan Megawati, Boediono dipercaya menjadi Menko Perekonomian oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lalu tahun silam, setelah dua calon Yudhoyono masing-masing Dirut Bank Mandiri Agus DW Martowardojo dan Wakil Dirut Perusahaan Pengelola Aset (metamorfosis BPPN) Raden Pardede— yang diajukan untuk menggantikan Burhanudin Abdullah sebagai Gubernur BI ditolak oleh anggota parlemen, Boediono dipilih oleh Yudhoyono untuk maju sebagai kandidat.

Hasilnya dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR, Senin 7 April 2008, Boediono mengantongi 45 suara dari 46 suara sah. Satu-satunya suara yang menolak Boediono adalah Dradjad Hari Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN, yang kini bergabung menyokong pencalonan Jusuf Kalla-Wiranto. Boediono yang mendapat “restu” dari Senayan saat itu, untuk kali pertama telah menyelamatkan muka Yudhoyono.

Dengan menempati posisi penting dalam tiga pemerintahan era reformasi itu, Boediono nisacya memang banyak berurusan dengan seluk beluk keuangan negara, termasuk berurusan dengan BPPN dengan penjualan aset-asetnya. Bank Central Asia yang dijual kepada Farallon Capital Partners, 14 Maret 2002 adalah salah satunya.

Catatan tentang Boediono, akan tetapi tak hanya bersangkutpaut dengan aset-aset yang dikuasai BPPN. Rabu 28 April 2004, di depan Komisi IX DPR-RI, Boediono mengajukan usulan agar privatisasi sejumlah BUMN bisa dilakukan pada tahun itu. Ada 28 BUMN yang diusulkan Boediono untuk dijual, tujuh diantaranya diminta diprioritaskan pada tahun itu juga. Ketujuh BUMN itu adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (Bank BNI), PT Tambang Timah, PT Aneka Tambang, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, dan PT Merpati Nusantara Airlines.

Kalangan DPR waktu itu mengingatkan agar Boediono, menunda penjualan semua BUMN itu. Alasannya, waktu privatisai dinilai kurang tepat karena menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden 2004. Jika penjualan BUMN itu tetap dilakukan, orang-orang di Senayan mengkhawatirkan hasilnya kurang optimal. Pada tahun itu, yang akhirnya dijual adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk.

Sebanyak 30 persen saham BNI dilepas melalui penawaran umum kedua (secondary public offering). Ini adalah teknik “penjualan” yang paling aman, ketimbang penjualan melalui strategic sale yang sering menimbulkan lebih banyak penolakan.

Bank BNI semula merupakan bank terbesar di Tanah Air tapi sekarang hanya menempati urutan keempat dari sisi aset. Duduk di kursi Direktur Utama saat ini adalah Gatot Mudiantoro Suwondo yang menggantikan Sigit Purnomo. Gatot adalah suami dari adik perempuan Ani Yudhoyono.

Majalah Trust menulis, ketika menjadi direktur Bank Danamon, Gatot pernah dijadikan tersangka oleh polisi dalam skandal pembobolan bank itu sebesar Rp 110 miliar. Skandal itu melibatkan Edi Karsanto (pejabat di departemen keuangan). Oleh majalah yang sama disebutkan, sebagian dana itu disumbangkan untuk kepentingan pencalonan Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004 (lihat “Misteri Rekening Edi Karsanto,” Trust, 16-23 Agustus 2004). Namun sesuai catatan KPU, pada putaran pertama Pemilu Presiden 2004, Gatot “hanya” menyumbang Rp100 juta kepada pencalonan kakak iparnya itu.

Temasek
Dalam hal penjualan BUMN itu, yang paling menimbulkan kontroversi tentu adalah penjualan 41,94 persen saham PT Indonesia Satelit Tbk. alias Indosat. Penjualan itu secara resmi terjadi pada Minggu, 15 Desember 2002. Terungkap dalam siaran pers Kementerian Negara BUMN hari itu, saham Indosat telah dijual kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd. (STT) dan share purchase agreement telah diteken pada tanggal tersebut.

Belakangan diketahui pihak Singapura sebagai pembeli menggunakan mekanisme special vehicle yaitu STTC meskipun katanya saham STTC 99 persen dimiliki STT. Hal itu tentu saja menimbulkan kecurigaan alias kurang transparan. Misalnya, mengapa pihak pembeli bukan STT seperti yang diatur dalam share purchase agreement dan harus menggunakan special vehicle?

Yang mungkin menarik dari penjualan Indosat itu, adalah lobi-lobi tingkat tinggi yang lalu lalang mendahuluinya. Lobi-lobi itu terutama dilakukan oleh pejabat-pejabat dari STT dan Telkom Malaysia Bhd yang juga ikut tender. Lewat Temasek Holdings, induk usahanya, STT ketika itu dikabarkan mendekati Taufiq Kiemas, suami Megawati. Sementara pejabat Telkom Malaysia masuk melalui jalur Hamzah Haz, Wakil Presiden. Begitu sengitnya upaya lobi itu, Taufiq disebut-sebut mendesak Megawati untuk memilih Temasek.

Setidaknya begitulah yang pernah disebutkan oleh situs laksamana.net. Sempat berganti nama menjadi parasindo.com, situs laksamana.net saat ini telah berganti berisi konten tentang asuransi.

Lalu ketika Temasek akhirnya menjadi pemenang, gelombang protes mewarnai penjualan Indosat. Pemerintahan Megawati waktu itu dinilai gagal melindungi aset-aset strategis, termasuk Indosat yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi dan satelit.

Temasek adalah raksasa telekomunikasi berpengaruh di Singapura. Pemegang saham terbesar Temasek adalah Lee Hsien Liong, Menteri Keuangan Singapura— putra Lee Kuan Yew, bekas PM Singapura, yang mewakili pemerintah Singapura.

Di Indonesia, konglomerasi ini sudah cukup lama dikenal karena keterlibatan bisnisnya dengan sejumlah taipan dan usahanya memburu sektor telekomunikasi. Nama Temasek paling tidak sudah dikenal ketika membentuk PT Bukaka Sing Tel pada tahun 1996. Perusahaan ini, kala itu, memenangkan tender pembangunan 403 ribu sambungan baru selama tiga tahun dengan nilai Rp 1,1 triliun.

Lewat STT pula, pada tahun 2001 Temasek termasuk investor yang paling sigap menawar saham PT Telkomsel. Usaha itu kemudian berbuah dengan mengantongi saham operator seluler terbesar di republik ini sebesar 35 persen. Temasek yang menguasai saham STT sampai 67,65 persen, dengan kalimat lain, secara tidak langsung juga menggenggam 23,7 persen saham Telkomsel.

Bersama Cargill Golden Agri Resources, Temasek juga masuk dalam pengelolaan dan pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit di Indonesia. Bisnis ini semula hanya dimonopoli konglomerat seperti Eka Tjipta Wijaya, yang antara lain bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dan Ciputra.

Cargill adalah salah satu perusahaan pengolah minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunannya lebih dari dari 258 ribu hektar dengan 16 fasilitas penambangan minyak kelapa sawit mentah. Tak mengherankan karena itu, Cargill memiliki posisi dan reputasi kuat dalam perdagangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Karena keperkasaan Cargill itulah, Temasek tertarik terjun di pengelolaan kelapa sawit Indonesia. Temasek berharap dari kerjasama dengan Cargill bisa membuka pasar kelapa sawit, setidaknya di Asia.

Ketertarikan Temasek masuk ke Cargill, karena di sana juga ada saham Liem Sioe Liong. Nama yang dianggap oleh Temasek dianggap sebagai jaminan nomor wahid. Lewat Salim Group, Liem memiliki 20 persen saham Camerlin Group, di mana Temasek juga mempunyai saham besar di dalamnya.

Camerlin adalah sebuah perusahaan investasi global yang aset terbesarnya ditanam pada Southern Steel Bhddan Brierley Investments Limited. Keluarga Liem dan juga Suharto, bekas Presiden RI sama-sama memiliki 24,4 persen saham Brierley Investments, yang mayoritas sahamnya juga dimiliki oleh Temasek.

Di luar Indonesia, gurita bisnis Temasek juga melilit di banyak negara, termasuk di Belgia dan Filipina. Di Thailand dengan membeli saham Advanced Info Service, sebuah perusahaan seluler yang memiliki 9,75 juta pelanggan. Di Hong Kong, Temasek mengantongi kepemilikan saham APT Satelite, penyedia jasa satelit telekomunikasi untuk kawasan Asia Pasifik. Temasek juga masuk di India melalui Bharti Grup, perusahaan yang bergerak di sektor jasa telepon seluler, telepon tetap, hingga satelit. Keikutsertaan Temasek itu, semuanya lewat STT.

Lalu sejak Sabtu 7 Juni 2008, Indosat dijual oleh Asia Mobile Holding Pte.Ltd kepada Qatar Telecom alias QTel seharga Rp 16 triliun atau melonjak lebih dari tiga kali lipat dibandingkan harga penjualan Indosat kepada STT yang Rp 5 triliun. Asia Mobile merupakan anak perusahaan Temasek. Perusahaan itu merupakan kongsi yang didirikan oleh Qatar Telecom dan STT dengan sebagian besar sahamnya (75 persen) dimiliki STT.

Dengan kata lain dalam waktu lima tahun, modal Temasek bukan saja telah kembali tapi bahkan sudah menangguk untung berlipat. Jika rata-rata setiap tahun Indosat membukukan laba Rp 1 triliun bisa dibayangkan, keuntungan yang dikantongi oleh Temasek selama lima tahun.

Indosat
Ada pun Indosat adalah perusahaan telekomunikasi yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia, Jakarta dan New York Stock Exchange, Amerika Serikat. Sebagai operator seluler terbesar kedua di Indonesia, Indosat menguasai 28,6 persen pangsa pasar seluler GSM atau lebih dari 36,5 juta pelanggan.

Setelah dijual kepada STT, berdasarkan laporan tahunan resmi yang dikeluarkan Indosat, pajak yang diterima negara dari Indosat diketahui terus menurun. Semula Rp 724 miliar (2004), lalu menjadi Rp 697 miliar (2005) dan akhirnya Rp 576 miliar (2006). Dalam surat somasi bernomor 134/SAA-AWA/VII/08, yang ditujukan kepaa STT, pengacara A. Wirawan Adnan dan Iwan Priyatno dari Law Firm Sholeh.Adnan & Associates menyebutkan, penurunan itu ditengarai disengaja dan merupakan kejahatan sistematis akibat transfer pricing sesama perusahaan induk Temasek.

Disebutkan dalam surat somasi itu, dalam tiga tahun tersebut, auditor eksternal Indosat juga menemukan transaksi derivatif yang dilakukan oleh Indosat sebesar US$ 275 juta atau sekitar Rp 2.5 triliun. Transaksinya meliputi 17 kontrak perjanjian dengan berbagai institusi keuangan. Antara lain Goldman Sachs Capital New York, Standard Chartered Bank Jakarta, JP Morgan Chase Bank Singapore, Merril Linch Capital, Barclays Capital London, ABN Amro Bank, dan HSBC.

Akibat transaksi itu, Indosat dikabarkan menderita kerugian hingga Rp 652 miliar selama tiga tahun dimaksud. Pemerintah sebagai pemegang saham 14,29 persen Indosat (minoritas), karena itu juga dirugikan Rp 93 milliar, dan negara berpotensi kehilangan pemasukan pajak sebesar 30 persen (setara Rp 196 milliar). Mengingat Indosat adalah perusahaan public, publik pun dirugikan Rp 283 miliar akibat transaksi tersebut.

Law Firm Sholeh.Adnan & Associates adalah pengacara dari Marwan Batubara (Anggota DPD RI, Anggota ILUNI UI Jakarta), Chandra Tirta Wijaya (Anggota ILUNI UI Jakarta), Bagus Satrianto (Anggota ILUNI UI Jakarta), Venny Zano (Anggota ILUNI UI Jakarta), Ismed Hasan Putro (Pengurus Masyarakat Profesional Madani/MPM), Agus Salahuddin (Anggota ILUNI UI Jakarta) dan Taufik Amrullah (Pengurus KAMMI). Mereka mengeluarkan somasi, menyusul pernyataan Kuan Kwee Jee, Senior Vice President Strategic Relations and Corporate Communication STT yang dimuat Investor Daily, Kamis, 19 Juni 2008 berjudul “STT Tak Ingin Permalukan RI.”

Dalam wawancara itu, Kuan antara lain mengatakan, dalam lima tahun STT untung lima kali lipat dari saham Indosat. Dia mengatakan, banyak kalangan menilai, STT juga investor asing lainnya, meraih untung besar karena membeli perusahaan bagus di Indonesia tapi sebenarnya tidak melakukan apa-apa, hanya sekadar menaruh uang.

“Siapa bilang STT tidak melakukan apa-apa dan hanya menaruh modal. Kami melakukan banyak hal. Anda tahu, saat kami masuk di Indosat tahun 2002, perusahaan itu tidak bisa berkembang, tidak punya dana untuk ekspansi. Mau pinjam dana ke bank, credit rating-nya rendah, jadi sulit. Kami masuk lalu membenahi manajemen, memperbaiki struktur keuangan, dan melakukan banyak hal. Hasilnya anda lihat sendiri. Bagaimana keuangan Indosat tahun 2002 dibanding sekarang. Bagaimana lonjakan pelanggannya.,” Begitulah kutipan langsung dari Kuan.

Pernyataan Kuan menurut kantor pengacara itu bertolak belakang dengan fakta. Karena sebelum diambil-alih Temasek, Indosat sebetulnya merupakan BUMN yang terus berkembang sejak 1980. Dalam tiga tahun terakhir sebelum dijual, pendapatan Indosat terus tumbuh, masing Rp 2,992 triliun (2000), Rp 5,138 triliun (2001), dan Rp 6,767 triliun (2002).

Kini kepemilikan BUMN strategis itu sebagian besar sudah tidak di tangan pemerintah. Sejak Maret tahun ini QTel sebagai pemilik baru Indosat, telah melakukan pembelian atas 1.314.466.755 saham seri B, termasuk saham seri B yang mendasari American Depositary Shares dari Indosat. Kedua jenis saham itu mewakili 24,19 persen dari jumlah keseluruhan saham publik yang diterbitkan Indosat.

Dikutip oleh Antara, Ketua QTel Group, Sheikh Abdullah Bin Mohammed Bin Saud Al-Than mengatakan, penguasaan saham mayoritas di Indosat setelah tender offer sukses dilakukan serentak di Indonesia dan Amerika Serikat, sejak Kamis 26 Februari 2009. Tak lupa Al-Thani memastikan dengan tuntasnya akuisisi tersebut, Qtel akan menjadi salah satu 20 perusahaan telekomunikasi terbaik di dunia pada tahun 2020.

Dalam pembelian itu, Qtel menetapkan harga penawaran tender (tender offer) atas setiap lembar saham Indosat sebesar Rp 7.388. Harga tersebut setara dengan harga pembelian Qtel terhadap 40,81 persen saham Indosat dari STT, 22 Juni 2008. Dengan demikian, Qtel saat ini sudah menguasai 65 persen saham Indosat atau menjadi pemegang saham mayoritas.

Merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 junto Perpres No. 111 /2007 tentang Daftar Negatif Investasi, investasi asing pada bisnis telekomunikasi jaringan tetap (fixline) ditetapkan maksimal sebesar 45 persen. Namun Indosat rupanya merupakan pengecualian. Kali pertama Indosat dijual kepada STT (Temasek) 15 Desember 2002, menteri BUMN waktu itu dijabat oleh Laksamana Sukardi (sekarang menjadi petinggi di Partai Demokrasi Pembaruan, pecahan PDIP, yang sekarang juga merapat ke Yudhoyono) dan Boediono sebagai menteri keuangan. (bersambung)

Bagian 4

Terlepas dari perdebatan apakah Boediono penganut neoliberalisme dan sebagainya, kesantunan dan kesederhanaannya tak harus menutupi, peran lain Boediono sebagai pejabat publik. Tak pula karena alasan kursi-kursi di rumahnya, sudah banyak yang bolong seperti yang kemudian juga ditulis oleh Faisal.

oleh Rusdi Mathari
Pekan lalu, Boediono melaporkan kekayaannya kepada KPK. Catatan lembaga itu menyebutkan, ada kenaikan harta sebesar Rp 3,4 miliar atau 18,3 persen dari posisi kekayaan Boediono per 31 Mei 2008. Jika pada akhir Mei tahun lalu itu, harta Boediono masih tercatat sekitar Rp 18,6 miliar kini sudah menjadi Rp 22,06 miliar.

Usai verifikasi, Deputi Pencegahan KPK Eko Tjiptadi mengatakan, harta Boediono meliputi harta bergerak dan harta tidak bergerak. Yang tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang per 24 Februari 2006 mencapai Rp 2,2 miliar. Harta ini setahun lalu sudah naik dua kali lipat menjadi Rp 5,8 miliar.

Boediono diketahui juga memiliki alat transportasi dan mesin senilai Rp 646 juta meski dalam laporan pekan lalu, nilai hartanya itu turun menjadi Rp 512 juta. Selain logam mulia bernilai Rp 83 juta, Boediono tercatat juga memiliki surat berharga senilai Rp 600 juta, giro dan setara kas Rp 11,5 miliar, dan US$ 10 ribu. Tak ada utang yang dilaporkan oleh Boediono. Dia juga tak memiliki tanggungan utang (piutang).

Lahir di Blitar (Jawa Timur), 25 Februari 1943, dengan kekayaannya itu Boediono memang dikenal sebagai sosok yang santun dan tak banyak bicara. Barangkali itulah yang menjadi salah satu alasan Yudhoyono, menunjuknya sebagai menko perekonomian 5 Desember 2005, menggantikan Aburizal Bakrie yang digeser menjadi menko kesra. Jabatan itu sebetulnya warisan Soeharto dan dianggap sebagai posisi bergengsi di kabinet.

Sesuai Pasal 8 Keputusan Presiden RI No. 100 Tahun 2001, tugas menko perekonomian adalah membantu Presiden dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang perekonomian. Kewenangannya meliputi penetapan kebijakan secara makro untuk keterpaduan dan sinkronisasi seluruh kebijakan lembaga pemerintah di bidangnya; perumusan dan penetapan agenda dan prioritas kebijakan secara makro di bidangnya; penyusunan rencana makro untuk menyinkronkan rencana dan program lembaga pemerintah di bidangnya; penandatanganan perjanjian atau persetujuan internasional berdasarkan pelimpahan wewenang dari Presiden di bidangnya; dan penetapan putusan hasil koordinasi (lihat “Keputusan Presiden No.100 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator”).

Beras dan CPO
Belum setahun menjabat menko perekonomian, Boediono dan tim ekonominya kemudian memutuskan untuk mengimpor beras. Itu terjadi pada 4 September 2006. Saat itu pemerintah melalui Departemen Perdagangan, menerbitkan surat persetujuan impor beras melalui Surat Menteri Perdagangan Nomor 760/M-DAG/9/2006 perihal Impor Beras untuk Cadangan Beras Pemerintah. Jumlahnya mencapai 210 ribu ton beras putih.

Pemerintah waktu itu beralasan, impor beras itu disebabkan oleh harga beras di dalam negeri pada bulan berjalan (September) yang sudah sangat tinggi yaitu Rp 5.091 per kilogram atau naik 58,23 persen dibandingkan dengan harga rata-rata pada Agustus 2005. Perhitungan itu diketahui dari 614 transaksi yang terjadi di 16 provinsi.

Soal impor itu, jika menggunakan alasan pemerintah bahwa harga beras di dalam negeri memang lebih mahal daripada harga beras di luar negeri, mestinya dana untuk impor beras itu bisa digunakan untuk membeli beras dari petani di dalam negeri. Dengan demikian, para petani di Indonesia menikmati hasil kerja mereka dan bukan sebaliknya “diberikan” kepada petani luar negeri. Namun rupanya Jakarta, tak berkehendak mengelap keringat para petani, meski sebelumnya mereka sudah dipaksa hidup dengan harga BBM yang membubung.

Akibat kenaikan itu, harga beras lokal langsung turun. Di Pasar Cipinang, Jakarta, harga beras langsung turun hingga Rp 200 per kilogram. Di sentra produksi beras, seperti di Cimalaya, Cikampek, harga beras rontok hingga Rp 3.850 per kilogram. Padahal harga beras pada September 2006 mencapai Rp 5.091 per kilogram atau naik sekitar 68 persen dibanding harga beras rata-rata pada bulan September tahun 2005, yang mencapai Rp 3.500 per kilogram.

Harga eceran minyak goreng curah setelah itu juga terus merambat naik. Semula pada Juli 2006 harganya baru bertengger Rp 5.026 per kilogram. Lalu terus naik setiap bulan, hingga menjadi Rp 8.787 per kilogram pada Juni 2007. Di beberapa tempat harganya saat itu ada yang mencapai Rp 10 ribu. Di Bandung, pada Maret 2008, harga eceran itu bahkan mencapai Rp 15.000 per kilogram.

Menurut Fahmy Radhi, Dosen FEB UGM dan Direktur Eksekutif Mubyarto Institute, dalam upayanya meredam kenaikan harga minyak goreng tampak sekali kegamangan Boediono sebagai menko perekonomian melakukan intervensi pasar. Boediono seolah tidak ingin mengorbankan penghambaan pada mekanisme pasar.

Bandingkan kenyataan itu dengan luas kebun kelapa sawit Indonesia yang mencapai 6,4 juta hektar dan memproduksi 16 juta ton CPO (bahan baku minyak goreng) per tahun. Dengan produksi sebesar itu, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap minyak goreng hanya sekitar 4 juta ton per tahun.

Salah satu penyebab tingginya harga minyak goreng itu adalah karena kenaikan harga CPO di pasar dunia yang dipicu oleh penggunaan bahan bakar nabati. Di awal tahun 2007 harga CPO dunia masih sekitar US$ 550 per ton lalu naik menjadi US$ 940 per ton pada akhir tahun. Harga tinggi itulah yang menggiurkan para pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk menjual CPO mereka ke luar negeri.

Ada beberapa perusahaan yang tercatat menekuni bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Salah satunya adalah PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk. Perusahaan di bawah bendera Grup Bakrie ini milik Aburizal Bakrie, salah sati menteri Yudhoyono yang juga menyumbang cukup besar dalam pencalonan Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004.

Perusahaan ini disebut-disebut meraup keuntungan besar akibat kenaikan harga CPO di pasar dunia. Tujuh tahun silam pendapatan Bakrie Sumatra Plantations tercatat sekitar Rp 400 miliar dengan laba bersih Rp 76 miliar. Tiga tahun lalu, pendapatannya itu naik menjadi Rp 1,18 triliun dengan laba bersih Rp173 miliar. Lalu pada tahun 2007 pendapatan perusahaan ditaksir menjadi Rp1,7 triliun dengan laba bersih Rp 210–220 miliar.

Beberapa nama lain di bisnis ini adalah Anthony Salim (Grup Salim). Melalui PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Anthony mengakuisisi 64,4 persen saham perusahaan perkebunan kelapa sawit PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. senilai Rp 8,4 triliun di tahun 2007. Lalu ada Sukanto Tanoto. Selain menjadi pemilik APRIL, salah satu produsen pulp & paper terbesar di Asia, melalui Asian Agri, Sukanto tercatat sebagai salah satu di antara lima produsen minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia.

Di bawah judul “Kisah Pembobol” majalah Tempo edisi 21 Januari 2007 pernah menulis, Asian Agri terlibat penggelembungan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun, mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar, mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat ketiga modus itu, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.

Skandal keuangan ini sempat menyeret-nyeret sejumlah nama pejabat, termasuk nama Yudhoyono. Meski berstatus buronan dan dicekal, Sukanto misalnya diberitakan pernah bertemu dengan Yudhoyono, sebelum Lebaran tahun 2006. Tahun lalu berkas penggelapan pajak Asian Agri dilimpahkan oleh Dirjen Pajak ke Kejaksaan Agung, tapi hingga kini, belum ada keputusan apa pun terhadap Asian Agri.

Rapor Ekonomi dan BBM
Tentu saja yang menghebohkan di masa Boediono menjadi menko perekonomian adalah kenaikan harga BBM, Sabtu 24 Mei 2008. Dalam pengumuman yang dibacakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, kenaikan itu berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.16 Tahun 2008.

Sejak itu harga minyak tanah menjadi Rp 2.500 per liter meski di tingkat eceran kemudian bisa melonjak Rp 6.000 per liter. Harga bensin premium dipatok sebesar Rp 6.000 per liter dan minyak solar menjadi Rp 5.500 per liter. Harga baru itu berlaku untuk konsumsi rumah tangga, usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum.

Menurut Pak Menteri, ketentuan itu diambil berdasarkan pertimbangan pemerintah yang harus memberikan subsidi BBM dalam APBN Perubahan tahun 2008 sebesar Rp135,1 triliun. Pemerintah selanjutnya akan mengatur dana Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat sebagai langkah untuk mengantisipasi gejolak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga tersebut.

Kenaikan itu memicu protes besar dari sejumlah kalangan termasuk mahasiswa. Antara lain mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta. Protes di depan kampus itu, kemudian berujung pada kematian Maftuh Fauzi, mahasiswa di Akademi Bahasa Asing, Universitas Nasional. Beberapa jahitan diketahui ditemukan pada kepala Maftuh setelah penyerbuan dan pemukulan oleh polisi terhadap kampus itu.

Kenaikan itu merupakan yang ketiga yang dilakukan oleh pemerintahan Yudhoyono. Ketika naik menjadi presiden, harga bensin premium adalah Rp 1.800 per liter. Harga itu kemudian naik menjadi Rp 2.400 per liter atau sekitar 125 persen. Kenaikan kedua menjadi Rp 4.500 per liter, lalu Rp 6.000 per liter tahun lalu. Benar pemerintah kemudian menurunkan harga-harga BBM itu. Namun itu hanya 10 persen atau kalah jauh dibandingkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang telanjur naik dan tak bisa turun lagi.

Ketika harga BBM kali pertama dikerek oleh pemerintahan Yudhoyono, 1 Maret 2005, sepekan sebelumnya sejumlah tokoh yang dipelopori Freedom Institute memasang iklan satu halaman penuh di harian Kompas. Freedom Institute adalah lembaga nirlaba yang didirikan oleh Keluarga Bakrie dan diawaki oleh antara lain Mallareng Bersaudara (Andi dan Rizal), M. Chatib Basri dan Mohamad Iksan.

Iklan yang dipublikasikan 26 Februari 2006 itu, antara lain berisi dukungan kepada pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Sejumlah nama yang tercantum antara lain Andi dan Rizal (pendiri Fox Indonesia, yang kini menjadi konsultan PR pasangan SBY Boediono), Goenawan Muhamad, Lin Che Wie, Iksan, Chatib Basri, Raden Pardede, Sofyan Wanandi dan Todung Mulya Lubis.

Sejumlah nama itu, sekarang merapat ke pasangan SBY Boediono. Chatib mengaku diajak langsung oleh Boediono. Beberapa dari mereka termasuk Rizal, menurut ekonom Faisal Basri, juga mengajaknya tapi Faisal menolak ajakan untuk bergabung itu.

“Bang saya berpikir Bang Faisal harus masuk ke dalam tim inti Pak Boed.” Begitulah sebagian isi pesan pendek, SMS, dari orang yang disebut Faisal sebagai “orang dalam,” yang ditunjukkan kepada Koran Jakarta (lihat “Faisal Basri,” Koran Jakarta, Minggu 24 Mei 2009).

Dalam tulisannya di Kompas 27 April 2009 berjudul “Menakar Kinerja SBY-JK,” Faisal mengkritik kinerja ekonomi pemerintahan Yudhoyono di mana Boediono adalah menko perekonomiannya. Menurut Faisal, kinerja pemerintahan SBY-JK bisa dinilai dengan mengacu pada Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah.

Untuk target pertumbuhan ekonomi, tercantum dalam rencana itu angka 6,6 persen untuk periode 2005-2009. Menurut Faisal, target itu sudah bisa dipastikan tidak akan tercapai karena pertumbuhan selama 2005-2008 hanya 5,9 persen. Dengan demikian, semua target untuk indikator ekonomi utama juga meleset. Yang paling terperosok adalah angka pengangguran dan kemiskinan. Untuk angka pengangguran pada tahun 2008 targetnya adalah 6,6 persen, kenyataannya menjadi 8,4 persen. Untuk penduduk miskin, ditargetkan 8,2 persen pada tahun 2009, sedangkan realisasi untuk 2008 (angka 2009 belum tersedia) adalah 15,4 persen.

Faktanya, selama tahun 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan memang naik hampir empat kali lipat, tapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen saja. Hingga tahun lalu, angka kemiskinan masih tercatat sebanyak 34,2 juta orang atau 17,3 persen dari total jumlah penduduk. Ada pun jumlah pengangguran masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75 persen dari total angkatan kerja.

Kini Boediono sudah ditetapkan menjadi kandidat wakil presiden oleh Yudhoyono. Terlepas dari perdebatan apakah Boediono penganut neoliberalisme dan sebagainya, kesantunan dan kesederhanaannya tak harus menutupi, peran lain Boediono sebagai pejabat publik. Tak pula karena alasan kursi-kursi di rumahnya, sudah banyak yang bolong seperti yang kemudian juga ditulis oleh Faisal. (selesai)
----------------------------------------------------------------------------

Tulisan terkait:
Boediono Berprinsip "Jangan Ambil yang Bukan Haknya"

Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia (BI) terpilih Boediono akan terus memegang prinsip "jangan mengambil yang bukan merupakan haknya". Prinsip itu akan terus dipegang hingga nafasnya berakhir. "Selama saya berkarir dan insya Allah setelah selesai dari karir bahkan sampai mati, saya pegang prinsip ini," kata Boediono ketika menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR.


Karena itulah, dirinya juga tidak pernah mengambil uang rakyat termasuk dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Boediono pernah berada dalam suasana gonjang-ganjing perekonomian dan ketika itu dikeluarkanlah BLBI. "Saya merupakan bagian dari periode di mana saat itu ada keadaan sangat darurat yang memerlukan tindakan cepat dan akhirnya perlu dukungan." "Saya tidak bisa mengatakan tidak ada kaitan sama sekali dengan masalah BLBI. Itu tidak jujur, tapi kalau boleh saya tidak di situ, akan jauh lebih baik suasananya. Saat itu memang seperti langit mau runtuh, karena tiap jam ada berita bank mau ambruk," katanya. Sekitar dua tahun setelah keluarnya BLBI, Boediono sempat beberapa kali dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk menyampaikan apa yang dialami dan diketahui berkaitan dengan BLBI, dalam kapasitas sebagai saksi. Saat dirinya menjadi Menteri Keuangan, pihak kejaksaan dan pengadilan atas ijin presiden juga memanggil Boediono sebagai saksi dalam masalah BLBI. "Sampai sekarang saya tidak pernah dijadikan tersangka dalam masalah BLBI, jangan saya dipaksa membuktikan bahwa saya tidak bersalah. Kalau ada informasi-informasi, saya persilahkan kalau mau meneruskan ke proses hukum tapi lewat jalur hukum, daripada berputar-putar menjadi isu yang buat saya dan keluarga saya cukup berat," katanya. Sementara itu mengenai upaya membangkitkan semangat kerja personil BI menyusul adanya sejumlah kasus dan terakhir adalah kasus aliran dana BI, Boediono mengatakan, dirinya akan melakukan pendekatan ke dalam (BI) yang cukup intensif. "Saya sebagai orang baru yang masuk harus mengumpulkan bahan-bahan, tapi saya ingin mengajak personil BI untuk menjadikan musibah (kasus) terakhir sebagai suatu momentum bersama-sama instrospeksi ke dalam dan melakukan pembenahan-pembenahan," katanya. Ia akan membentuk gugus tugas untuk menetapkan agar area-area tata kerja yang kelabu bisa dibuat tidak lagi kelabu, sehingga jelas mana yang boleh dilakukan atau patut dilakukan dan mana yang tidak boleh atau patut dilakukan. Di area kelabu itulah biasanya bercecernya anggaran padahal menurut mekanisme anggaran sebenarnya tidak patut dilakukan. Hal itu harus diperjelas lagi sehingga hal-hal yang potebnsial bisa menjadi sumber masalah di masa depan tidak jadi potensi masalah baik bagi BI maupun instansi yang berhubungan dengan BI. "Kepatutan memang perlu didefinisikan apalagi kalau sudah menyangkut uang, karena uang merupakan benda yang licin. Uang bisa menggelincirkan kita dalam pengambilan keputusan, karena itu saya ingin benar-benar tegas mana yang boleh dan tidak, jumlah berapa," katanya. Untuk mengatasi kegamangan personil BI dalam bekerja, Boediono mengatakan, pihaknya akan melakukan pembicaraan dengan penegak hukum untuk mencari pandangan tentang apa yang bisa dilakukan BI untuk membantu penegak hukum. "Kami akan bicara dengan penegak hukum untuk mencari pandangan, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi kegamangan personil di BI, tanpa mengurangi bahkan menghambat kelancaran tugas investigasi penegak hukum. Kalau BI terus gamang, BI tidak akan dapat melaksanakan tugas denga baik," katanya. (*)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Boediono Pecas Ndahe

Penunjukkan Boediono sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono memicu kontroversi. Ia dianggap menganut paham neoliberal, antek asing, dan bertanggung jawab atas pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Benarkah Boediono pendukung neolib dan antek asing? Apakah dia bukan figur yang cocok menjadi pendamping pemimpin pemerintahan?
Saya ndak tahu. Tapi rasanya benar apa kata para ahli ekonomi dan orang-orang pintar yang berpendapat bahwa tantangan terbesar bagi Presiden Republik Indonesia mendatang — siapa pun dia — lebih banyak datang dari sektor ekonomi. Reformasi ekonomi masih jauh dari selesai. Angka kemiskinan masih cukup tinggi. Dampak krisis global akan terus berlanjut. Masalah tersebut harus mampu diselesaikan oleh semua kandidat yang ingin menjadi pemimpin pemerintahan.
Boediono, seorang teknokrat dan ekonom, dianggap Yudhoyono sebagai figur yang mempunyai kemampuan menjawab tantangan itu. Apa dasarnya? Doktor ekonomi bisnis lulusan Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat, itu sudah membuktikan kemampuannya di bidang moneter.
Ia, misalnya, dua kali berhasil ”menjinakkan” inflasi, musuh terbesar ekonomi Indonesia. Pada masa pemerintahan Megawati, sebagai Menteri Keuangan ia berhasil menurunkan inflasi dari 13 persen menjadi hanya lima persen.
Pada 2005, sebagai Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan SBY, ia memotong inflasi sampai separuh dari angka 17 persen. Rupiah menjadi lebih kuat. Fondasi pertumbuhan ekonomi pun semakin kuat.
Satu-satunya angka merah di rapor prestasi guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada adalah soal BLBI. Ketika menjadi Direktur Bank Indonesia: ia dianggap ikut menyetujui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada konglomerat pemilik bank pada 1997. Tiga direktur Bank Indonesia diadili dalam kasus ini. Eh ada satu lagi. Bapak yang santun ini sering dikritik terlalu lamban.
Bagaimana dengan tuduhan bahwa Boediono adalah penganut neoliberalisme dan antek asing?
Sebelum menjawab, baiklah kita baca-baca kliping koran dulu. Boediono, menurut koran-koran, ikut berperan dalam pengucuran Bantuan Langsung Tunai, tindakan yang dalam paham neoliberal dianggap intervensi serius terhadap ekonomi domestik.
Jangan lupa, Boediono pulalah yang justru membebaskan ekonomi kita dari utang Dana Moneter Internasional (IMF).
Ketika berpidato di Bandung Jumat lalu, Boediono mengatakan, “Perekonomian Indonesia tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar bebas. Selalu diperlukan intervensi dengan aturan main yang jelas dan adil.”
Negara, kata Boediono, tidak boleh terlalu campur tangan sehingga menghilangkan kreativitas. “Tapi negara juga tidak boleh hanya tertidur. Untuk itu diperlukan pemerintahan yang bersih … pemerintahan yang bersih tidak hanya dipidatokan, tapi dimulai dari keteladanan kepemimpinan,” katanya.
Jadi apa dasar tuduhan bahwa Boediono itu neolib dan antek asing?
Entahlah. Setiap manusia punya warna sendiri-sendiri. Ia sekaligus memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi kita sering kali terjebak pada label-label yang menyesatkan — dan belum tentu benar. Kita kadang juga lupa menunda arti. Bahwa apa yang terlihat boleh jadi tak seperti yang kita lihat. And the show must go on
>> Selamat hari Sabtu, Ki Sanak. Apakah sampean sesungguhnya paham yang dimaksud neoliberal?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pak Boediono diperlukan dimana ?

Mungkin kita perlu tahu syapa dan bagaimana keahlian, paham serta pemikiran Budiono. Ini pemikiran pribadi dari tulisan lama (feb 2007) Tulisan disini http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel.php?aid=16091 ini menjadi bahan pergunjingan di beberapa mailist yang aku ikuti. Di tulisan itu menyebutkan Pak Boed ini berpaham NeoLiberal.
:( “Pakdhe, Neoliberal itu nama kue pa ?”
:D “NeoLiberal, itu paham ekonomi yang menyerahkan menkanisme pasar sebagai penggerak roda ekonomi”

Semua paham dan pola pemikiran diperlukan.

Pemikiran NeoLiberalisme ini barangkali yang bisa menjadi sumber dispute dalam perebutan koali dan kursi. Sangat perlu juga diketahui bahwa kita perlu pemikirannya. Dunia saat ini sangat kompleks dan kompliated. Segala ilmu dan paham diperlukan dan dipakai, setiap ekspertis harus dimiliki. Supaya kita tahu bagaimana musuh bergerak dan bermanuver.
Mungkin yang dipertanyakan apakah sesorang dengan keahlian seperti itu perlu duduk disitu untuk lima tahun kedepan? Ini jelas sumber dispute, bisa menjadi petaka ataupun berkah, kita ndak pernah tahu. Tinggal sekarang berani coba atau tidak ?
Kebetulan saja aku ini bawaan sejak lahir saya cenderung lebih sosialis (dari uji psikotest :) . Distribusi lebih mendominasi pemikiranku ketimbang besar kecilnya kue yang akan dibagi. Nah kita tengok seperti apa yang Indonesia perlukan dalam 5 tahun kedepan.
Beberapa bulan lalu Indonesia telah diundang masuk G20 artinya memiliki pendapatan negara yang sahohah. Guedhe !! Kue Indonesia itu buesaaarrr banggget ! Semua juga tahu. Sumberdaya serta kerja kerasnya orang Indonesia tidak diragukan. Tetapi distribusinya amburadul. Kesenjangannya “nggilani”, perbedaaanya “ngaudibilah” ….yang lebih parah cara atau metode pembagiannya dengan cara yang kurang “etis”. Kuenya terbagi bukan karena kerja dan keringat. Tetapi kue gedhe itu terbagi dan terdistribusi dengan sogok sana sini, nyolong sana sini dsb. Corrupt rewarding (distribution) system !

Masalah pembagian kue.

Bukan soal ketersediaan barang tetapi bagaimana pemerataan pemanfaatan barang itu juga diperlukan. Pak Boed ini kelihatannya ahli membikin kue, tetapi beliau mungkin tidak ahli membagi kue. Setahuku kue di Indonesia ini saat ini sudah guedhe, sumberdaya alamnya sahohah. Yang menjadi permasalahan dalam negeri itu kan pembagiannya. Tugas Pak Boed di BI selama ini sudah bagus, Kue yang dibuatnya cukup lumayan. Nah, sekarang mari kita bagi kue ini dengan cara yang benar.
Yang saya ragu (khawatir) karena pak Boed mungkin akan membagi dengan cara neoliberal juga. Tulisan pak Faisal Basri tidak menyangsikan pribadinya. Clean. Tetapi pendapat Pak Revrisond Baswir tentang pemahaman NeoLib yang dianut Pak Boed ini yang lebih mengkhawatirkanku.

Perjalanan kedepan bisa-bisa rada riweh !

Kalau pendapat pribadi saya. Kalau emang nantinya SBY-Bud emang “JADI” tanpa dukungan koalisi partai yang erat, maka pergerakan pemerintahan didalam negeri mungkin akan terseok-seok dengan kemungkinan munculnya kontra oposisi yang terlalu kuat. Pengusaha mungkin tidak suka dengan kondisi amburadul, tetapi paham Pak Boed yang lebih cenderung membela pengusaha mungkin bisa meredam.
Pada saat pemilu mungkin rakyat akan tetap memilih SBY. Saya yakin elektabilitas SBY masih terlalu kuat dibanding calon lain. Tetapi ketika sudah duduk di singgasana, maka DPR dan politisilah yang akan menganggu jalannya pemerintahan. Dan disaat sulit itu nanti, rakyat sudah harus kembali ke meja kerjanya lagi. Swaranya akan tenggelam lagi. Swara oposisi dari DPR dan media menjadi lebih dominan. Padahal Wapres tidak seperti “sparepart” yang bisa dibongkar pasang dengan “resuffle”.
Tetapi dengan maju berpasangan dengan Pak Boed ini, SBY akan tampil all-out bahwa, “Ini lah aku yang aslinya“. Toh di tahun 2014 nanti sudah tidak nyalon lagi. Indonesia perlu perubahan !
Gut lak, Pak !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rabu, 20 Mei 2009 | 19:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Calon wakil presiden Boediono, kepada wartawan mengaku mobil sedan Camry hitam bernomor polisi B 2688 GS yang biasa ia gunakan adalah mobil sewaan.
"Mobil ada 1 di Jakarta dan 2 di Jogja. Mobil yang biasa digunakan adalah mobil sewaan," ujar dia setelah menerima Tim Klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (LHKPN) KPK, di kediamannya Rabu (20/5).
Ia menerangkan mobil dinas dari Bank Indonesia telah ia kembalikan agar tidak membebankan negara. Ia juga mengaku tidak mempunyai perusahaan. "Saya enggak punya perusahaan, hanya ada ORI (Obligasi Ritell Indonesia)," terang dia. Selain itu, sampai saat ini Boediono masih menempati rumah dinas milik Bappenas yang beralamat d Jl. Mampang Prapatan XX.
Hal tersebut cukup mengejutkan, karena sebelumnya tim Vefikasi LHKPN mengumumkan dalam satu tahun, harta kekayaan milik Boediono meningkat sebesar Rp 3,4 miliar. Dari Rp 18,6 miliar menjadi Rp 22,06 miliar.
RDI


Calon Wakil Presiden Boediono, masih menempati rumah dinas milik Bapenas. Ia juga mengaku sedan camry yang biasa ia gunakan adalah sewaan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama
Kandidat Calon Walikota Bekasi, Heri Koswara