Banyak Jurnalis TV yang bakal jadi caleg tahun ini relatif banyak.
bekasi-online.com, Sabtu 14 Des 2013, 09:20 WIBJAKARTA, bekasiOL -- Sebut saja Arief Suditomo. Pria yang selama
ini dikenal sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) RCTI ini, maju sebagai
caleg dari Partai Hanura. Ia akan memperebutkan 1 kursi di Daerah
Pemilihan (Dapil) Jawa Barat (Jabar) 1, bersaing dengan caleg dari PAN
Ricky Subagja (pebulu tangkis ganda putra legendaris) dan caleg PDIP
Hartati Hermes (adik Taufik Kiemas).
Anda pun pasti sudah tahu kenapa Arief maju sebagai caleg Hanura. Pemilik MNC Group yang membawahi RCTI adalah Hary Tanoesoedibjo alias HT. Di Hanura, HT menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan sekaligus Ketua Dewan Pelaksana Pemenangan Pemilu (Bapilo). Jadi, jelas Arief tidak akan mungkin menjadi caleg di Partai Golkar, PDIP, apalagi PKS.
Anda pun pasti sudah tahu kenapa Arief maju sebagai caleg Hanura. Pemilik MNC Group yang membawahi RCTI adalah Hary Tanoesoedibjo alias HT. Di Hanura, HT menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan sekaligus Ketua Dewan Pelaksana Pemenangan Pemilu (Bapilo). Jadi, jelas Arief tidak akan mungkin menjadi caleg di Partai Golkar, PDIP, apalagi PKS.
Sebelum memutuskan
terjun ke dunia politik, Arief dikenal Jurnalis Televisi yang banyak
pengalaman. Begitu hengkang dari The Jakarta Post, pada 1 November 1995,
ia bergabung di redaksi Liputan 6 SCTV. Selama di SCTV, pria
kelahiran Jakarta, 14 Agustus 1968 ini ditempa sebagai Reporter,
Produser, dan akhirnya menjadi Senior Anchor. Berbagai penghargaan pun
diraihnya, salah satunya Panasonic Awards selama 3 kali berturut-turut.
Pada 31 Agustus 2003,
Arief undur diri dari SCTV dan bergabung di RCTI sebagai Programming
Manager. Keterlibatannya kembali di dunia jurnalistik di RCTI saat ia
dimutasi dari Departemen Programming ke Manager Produksi Redaksi Seputar Indonesia.
Ia kemudian dianggat menjadi Wakil Pimpinan RCTI pada 2005, sampai
akhirnya menjadi Pemred. Sejak 2009, Arief menjabat sebagai Direktur
Programming dan Produksi di Sindo TV, televisi berjaringan nasional di
bawah MNC Group.
Tentang Arief ini, Pemred Metro TV Putra Nababan, yang sempat sekantor di RCTI, berkomentar, “Dia
sahabat, guru, serta mentor saya. Arief orang yang rela mundur
selangkah supaya temannya bisa maju dua langkah. Coba, carilah orang
seperti Arief di kantor lain. Adalah orang sebaik dia?”
Majunya seorang
wartawan aktif menjadi calon legislatif (masuk ke arena politik praktis)
jelas problematik dan sangat berpotensi memunculkan konflik
kepentingan. Secara kode etik jurnalistik, pasti bisa menimbulkan
masalah. Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Eko Maryadi
Prasetya, secara aturan memang tidak ada aturan yang mengatur atau
bahkan melarang. Tapi kalo dilihat baku kode etik jurnalistik, Jurnalis
harus independen.
Namun, sebenarnya
bukan kali pertama Jurnalis dari televisi menjadi caleg. Meutya Hafid
contohnya. Mantan anggota DPR dari Partai Golkar yang sempat dilantik
pada Agustus 2010 untuk menggantikan Burhanudin Napitupulu yang
meninggal dunia ini, dahulu adalah Jurnalis Metro TV. Karir
jurnalistiknya sebetulnya luar biasa. Wanita kelahiran Bandung, 3 Mei
1978 ini pernah terpilih sebagai pemenang Penghargaan Jurnalistik
Elizabeth O’Neill dari pemerintah Australia. Selain Meutya, pengharhaan
lain juga diberikan pada seorang Jurnalis dari ABC Radio Australia
Joanna McCarthy. Meutya pun menjadi satu di antara lima Tokoh Pers
Inspiratif Indonesia versi Mizan. Ia terpilih bersama Tirto Adhi Soerjo,
perintis pertama surat kabar di Indonesia melalui Medan Prijaji pada 1
Januari 1907 di Bandung.
Namanya terkenal di
seluruh dunia, karena pada 18 Februari 2005, ia dan juru kamera
Budiyanto sempat diculik dan disandera oleh sekelompok pria bersenjata,
saat bertugas di Irak. Mereka akhirnya dibebaskan pada 21 Februari 2005.
Pengalaman di Irak ini sempat ditulis dalam sebuah buku berjudul 168 Jam dalam Sandera: Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak (Seprember 2007).
Karir politik Meutya
dimulai saat dirinya berpasangan dengan H. Dhani Setiawan Isma maju
sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota Binjai periode 2010-2015.
Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) ini, mereka diusung
Partai Golkar, Demokrat, Hanura, PAN, Patriot, P3I, PDS, serta 16 partai
non-fraksi DPRD Binjai.
Pada 2010, Meutya berpasangan dengan H Dhani Setiawan Isma S.Sos sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota Binjai
periode 2010-2015, diusung Partai Golkar, Demokrat, Hanura, PAN,
Patriot, P3I, PDS serta 16 partai non-fraksi DPRD Binjai. Sayang, Meutya
kalah. Saat itu disinyalir terjadi kecurangan, tetapi baik Dhani maupun
Meutya tidak dapat membuktikan kecurangan tersebut. Pada Agustus 2010, ia dilantik menjadi Anggota DPR antarwaktu dari Partai Golkar untuk menggantikan Burhanudin Napitupulu yang meninggal dunia. Namun, pada 11 Agustus 2011, Meutya mengundurkan diri dari Partai Golkar untuk berlabuh ke Partai Nasdem.
“Sangatlah tak mungkin jika saya menjadi anggota parpol lain,” tulis Meutya dalam akun Twitter-nya saat itu.
Yang saat ini masih
duduk sebagai Wakil Rakyat di DPR adalah Teguh Juwarno. Mantan Jurnalis
Tempo dan RCTI ini adalah anggota DPR-RI periode 2009-2014 dari Partai
Amanat Nasional (PAN). Saat di RCTI, ia menjadi perintis Program RCTI
Peduli.
Awal karir politiknya
saat ia terjun menjadi birokrat sebagai staf khusus Mendiknas bidang
media dan komunikasi. Saat ditanya alasan bating stir dari Jurnalis ke
dunia politik, Teguh merasa suaranya sebagai Jurnalis tidak didengar.
Mengritik keras kebijakan pemerintah, tetapi kadang tak sampai sasaran.
“Jadi teriakan keras pers seperti di ruang hampa,” ujar anggota DPR dari Dapil Tegal dan Brebes, Jawa Tengah yang dipercaya menjadi salah satu Wakil Ketua Komisi II ini.
Tentu,
masih banyak Jurnalis televisi lain yang bakal menjadi caleg pada 2014
ini, termasuk Jurnalis-Jurnalis dari MNC Group, Trans Corp, maupun Media
Group yang membawahi Metro TV. Yang pasti, organisasi profesi seperti
AJI, dengan tegas melarang anggotanya menjadi pengurus atau anggota
Partai Politik (Parpol). Entahlah dengan sikap Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) atau Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) melihat
fenomena Jurnalis Televisi jadi caleg.
Menurut
Eko Maryadi lagi, Jurnalis, apalagi sekelas Pemred seharusnya mundur
kalo berniat nyaleg. Hal ini untuk menjaga independensi dan menghindari
konflik kepentingan. Arief Suditomo, misalnya. Sebagai Pemred Seputar Indonesia RCTI, ia harus mundur dari jabatannya.
“Kita
meminta wartawan, baik semua tingkat jenjang yang ngeleg untuk keluar
dari posisi di kantor medianya. Ini demi etika dan profesionalisme
jurnalis,” ujar Eko, yang penulis kutip dari situs Merdeka.com (25/4).
Lanjut
Eko, media adalah buat semua golongan. Namun bila Jurnalis-nya nyaleg,
maka media tersebut bisa digunakan buat kepentingan Partai-nya. Hal ini
harus dihindari. Dulu saat Meutia Hafidz dan Ramadhan Pohan nyaleg, AJI
meminta mereka mundur sebagai Jurnalis.
Pelaksana
Harian Pengurus ATVLI Jimmy Silalahi mengatakan, menjelang Pemilu 2014
harus ada penegakan hukum UU Penyiaran dan UU Pers agar media tetap
independen. Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh Staf Ahli
Kementrian Komunikasi dan Informatika Bidang Komunikasi dan Media Massa
Henry Subiakto.
“Pemilik media massa, pengelola, penyiar dan wartawan dilarang menjadi pengurus Partai Politik,” ujar Henry. “Aktor penyiaran yang merangkap pengurus Partai Politik akan merusak konten pemberitaan media”.
Berbeda
dengan ATVSI. Asosiasi ini tidak mengeluarkan peraturan terkait
karyawan yang terlibat dalam partai politik, secara anggota ATVSI bukan
perorangan, tetapi perusahaan stasiun televisi atau institusi. Namanya
asosiasi, ATVSI hanya bisa mengeluarkan peraturan yang mengingat anggota
atau kode etik, kecuali ada perundang-undangannya. Misal, Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan Undang-Undang (UU)-nya atau dari
UU Penyiaran itu sendiri, barulah anggota ATVSI yang terlibat politik
harus dikeluarkan.
Dalam blog-nya, mantan
Executive Producer (EP) Trans TV Satrio Arismunandar menulis, ketika ia
masih bekerja di Trans TV (2002-2012), Jurnalis yang jadi caleg,
minimal harus cuti di luar tanggungan kala musim kampanye. Sebab, hal
ini tidak mempengaruhi pemberitaan. Bahkan kabarnya, Kompas-Gramedia,
termasuk Kompas TV sudah menerapkan aturan yang lebih ketat. Jurnalis
disuruh memilih, mau jadi politisi atau mau jadi wartawan. Mereka tidak
bisa merangkap. Soal tidak boleh rangkap jabatan, juga diberlakukan di
Metro TV. Mau tetap bekerja di Metro TV atau menjadi caleg Nasdem.
Salam Independen!
Penulis : Ombrill pengamat televisi dan dunia hiburan - penulis buku "Broadcast Undercover"
Editor: DikRizal
Arief Suditomo, yang selama ini dikenal Pemimpin Redaksi RCTI, dikabarkan maju sebagai caleg partai Hanura. Mengingat boss-nya pemilik grup MNC, Hary Tanoesoedibjo, sudah bergabung ke Hanura yang dipimpin Wiranto, bisa dipahami bahwa Arief mungkin "sulit menolak" imbauan dari bossnya, jika si boss meminta Arief ikut mendukung langkah Hary di Hanura.
BalasHapusApapun alasannnya, baik atas inisiatif sendiri ataupun diminta oleh pihak luar, majunya seorang wartawan aktif menjadi calon legislatif (masuk ke arena politik praktis) jelas problematik dan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Secara kode etik jurnalistik, pasti bisa menimbulkan masalah. Saya yakin, Arief pasti sangat memahami hal ini.
Organisasi profesi seperti AJI, dengan tegas melarang anggotanya menjadi pengurus atau anggota (bukan sekadar simpatisan) partai politik. Saya belum tahu penyikapan PWI atau IJTI. Waktu saya masih bekerja di Harian Kompas (1988-1995) dan Trans TV (2002-2012) dulu, si wartawan yang jadi caleg minimal harus cuti di luar tanggungan ketika musim kampanye, sehingga tidak mempengaruhi pemberitaan.
Sekarang kabarnya Kompas sudah menerapkan aturan yang lebih ketat. Si orang bersangkutan akan disuruh memilih, mau jadi politisi atau mau jadi wartawan. Tidak bisa merangkap. Di RCTI, mungkin tidak jadi masalah sejauh pemilik RCTI, Hary Tanoe sendiri merestui, bahkan mendorong wartawan senior andalannya untuk terjun berpolitik. Tinggallah sekarang, bagaimana para insan media lain menyikapi, karena para pimpinan media sepatutnya memberikan keteladanan.
Jakarta, April 2013
Satrio Arismunandar
sumber : ArisMunandar6.com
Posting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan