contoh iklan header
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Gue (Muslim) Juga Manusia, Bro!



Me, with Adjis Doa Ibu, one of the best comedian in MetroTV

Coba
aja elo bayangin, gue udah berusaha untuk jadi orang bener, tapi tetap
aja masih ada orang yang berusaha memprimitifkan diri gue, hanya karena
penampilan gue yang gue emang udah coba untuk beda.



Gue punya prinsip, pakaian kayak gini bikin gue nyaman sebenarnya, tapi kenapa orang di
lingkungan gue yang merasa gak nyaman, malah ada yang ketakutan.



Nah
ini kan aneh? Seolah mereka sudah bikin stereotype nya orang
yang berpakaian kayak gue ini, ghamis atau baju koko dan celana
cingkrang, plus sedikit jenggot dan jidat item di kepala, itu pasti
gerakan aliran wahabi lah, teroris lah, pentolan FPI lah, atau Islam
radikal lah.
Bahkan ada yang berani nuduh gue ISIS lah, jahiliyah banget gak tuh
mereka, kalo gak mau gue sebut bedebah!


I don't know why, something shit still happened though we have tried
hard to be nice and good. This story taught me some lessons of being
adaptable is a must everywhere we go.



Padahal
gue cuma mengikuti gaya dan semangat kembali kepada gaya hidup
para shahabat Nabi Muhammad shalallaahu alaihi wa salam, yakni kaum
salafiyah, sebuah generasi terbaik ummat Islam dalam masa kejayaannya.
Jadi gak masalah
bukan?



Ini dia Islamophobia yang gue alamin pas gue
keliling negara-negara Asia yang notabene emang bukan negara Islam. Ah
enggak juga sih, kayaknya banyakan hal yang menyenangkan daripada yang
menyebalkan. Gue cuman mau curhat melalui blogs gue ini. Itu aja. Biar
Allah, Big Boss gue nanti yang kasih penilaian.



Gue ini
sebenarnya orangnya simpel banget. Kenapa gue suka pakaian kayak gini
yang memang kental dengan bau Syariat Islam? Karena di dalam filosofi
pakaian ghamis dan kelengkapannya, seperti celana cingkrang di atas mata
kaki, semua tersirat makna kesederhanaan dan kerendahan hati. Gue
emang rendah hati, tapi dengan style. Hahahaha, rendah hati macam apa
ini?


Coba aja elo perhatikan, apa ada orang yang penampilannya kayak
gue,khususnya yang cowok yah, mereka itu terlihat seperti orang kaya
atau orang yang tajir? Gak ada kan. Bahkan kalo diperhatikan lebih
dalam, sesungguhnya meskipun mereka (dan gue juga, bro/Sis, hehehe)
sebenarnya kaya raya, tapi berusaha sebisa mungkin tidak memamerkan
kelebihannya, meski gak berarti mereka berusaha untuk menyembunyikannya.



@SekalisInfo, @Michaeluk @Dzawinur dan gue sendiri @dikrizalSemua

orang yang bercelana cingkrang, berkopyah seperti pak haji, berghamis
ria, maka susah dibedakan mana si kaya dan mana si miskin. Mana si
ganteng dan mana si kurang ganteng... (yang terakhir ini bisa-bisanya
gue). Makanya gaya pakaian kayak gini gue sebut pakaian yang egaliter.
Tau gak lo artinya egalitar? Buruan googling gih di internet, kalo gak
ketemu nanti gue SMS ke HP lo, OK? Jangan sampe orang lain gak tahu kalo
lo gak ngerti artinya EGALITER.



Yang jelas dengan
pakaian seperti ini, gue merasa nyaman dan ogah mau datang ke
tempat-tempat yang gak pantas alias sarangnya maksiat.



Bukan
gue sok suci atau sok kayak orang munafik, tapi paling gak, gue harus
ganti baju preman dulu, kalau mau masuk tempat seperti diskotik bukan?
Masak iya pantes, pake ghamis terus gue masuk tempat kayak diskotik?
Halah, cemen banget.



Memangnya
mereka pikir gue gak boleh mengumpat apa? Gue ini juga manusia, Man!
Beruntunglah elo semua, gue berusaha ngikutin ajaran agama yang gue
yakinin bisa
nyelametin gue nanti. Gue dilarang mengumpat. Tapi sebagai manusia
normal, pastinya manusiawi banget kan kalo gue TERPAKSA harus mengumpat.



Yah
pastinya gue harus pinter, pinter lah memilih kata yang emang gak layak
buat konsumsi umat di televisi (halah niat banget masuk tipi).



Hehehe,
secara gitu loh. Pakaian udah Islami, masak gue masih suka mengumpat
seperti orang-orang jahiliyah... Ya gak level lah... ya agak sopan
sedikit lah... misalnya, "Jahannam!"... atau misalnya yang agak umum,
"Bedebah!". Itu pun sebenarnya oleh agama gue, dilarang keras. Makanya
jarang gue pake... kecuali kepepet, itupun sama orang yang gak ngerti
bahasa gue.



Pekerjaan gue sekarang, bantuin temen yang
gue kenal saat gue mewawancarai dia hendak menjadi kandidat pilkada Kota
Bekasi, dari partai Demokrat. Dia memang orang lama di partai, tapi
sepertinya rezeki dan amanah untuk menjadi walikota maupun posisi
wakilnya belum dia peroleh. Gue gak perlu kasihan sama dia, karena dia
lebih kaya dari gue, OK? Hapus air mata palsu lo, saat terharu baca
tulisan ini.



Sebut saja namanya Mister Pariyo, (seperti
nama sebenarnya), adalah seorang pengusaha yang gak dadakan juga sih,
tapi mungkin memiliki asset yang kebetulan lumayan banyak jika
dibandingkan orang pada umumnya.



Salah satu assetnya
yang kini jadi primadona usahanya adalah sebuah gunung batu atau lebih
tepatnya bukit batu yang mengandung bahan batu hijau. Batu hijau atau
greenstone ini memang termasuk salah satu komoditi ekspor yang lumayan
banyak diminta oleh beberapa negara jiran, bahkan juga negara di benua
Asia, Eropa dan mulai menembus benua Amerika, (Coba benua Afrika juga
ya? Kan asyik tuh ekspor batu ke Afrika? Atau benua es, Antartika atau
Artik, kali aja gue bisa terbang ke sana?)



Namun yang
paling unik itu, adalah limbah serbuk dari greenstone, atau yang lebih
keren
disebut Zeolite. Jadi potongan tile yang seperti ubin  keramik berwarna
kehijauan mulai dari ukuran 10cm x 10cm hingga yang berukuran 50cm x
50cm bisa dibuat di tambang batu hijau milik Mr. Pariyo yang terletak di
wilayah Kecamatan Cikembar, Sukabumi, Jawa Barat.







Sisa-sisa
dari potongan tile greenstone inilah yang kemudian dihancurkan dan
berubah bentuk menjadi tepung Zeolite Powder atau bisa dalam bentuk
Zeolite Granule. Sepertinya cuma tepung batu, namun kaya sekali
manfaatnya buat dunia pertanian, industri dan bahkan konstruksi.
Intinya, teman gue ini memang punya tambang gunung emas yang berwarna
putih kehijauan dan itu gak akan habis mungkin hingga 100 tahun ke
depan. Bisa bayangin gak betapa dia punya sumber daya alam yang gak akan
habis dimakan 3 keturunannya, jika anak-anaknya menguasai ilmu bisnis
pertambangan. Makanya gue punya niatan besanan sama ini orang, atau
kalaupun gagal, gue poligami aja anaknya. Huahahahahahaha
*TawaGayaSetanGimanaSih?



Karena kedekatan gue itulah,
maka gue diminta bantu-bantuin dia untuk menjadi pemasar di luar negeri,
karena pertimbangan keahlian berbahasa Inggris dan bahasa asing
lainnya, bukan karena wajah ganteng gue. Busyet dah, gue merasa kaya
dimanfaatin sama dia, tapi yah apa mau dikata, itulah gunanya seorang
teman bukan? Teman itu saling memanfaatkan.



Celakanya, kadang dia suka ngeledekin cara berpakaian gue yang mirip teroris ISIS ini.


"Dik, le kenapa sih pakai baju yang mirip orang-orang FPI gitu?"
tanya Pariyo ke gue sambil senyum-senyum becanda, dan gue tahu persis
maksudnya ngeledek sebagai seorang teman, "Lagian
elo pake atribut kayak gitu, apa elo udah hapal Al-Qur'an? Atau apa elo
pernah khatam baca Qur'an?"


Ya gue sewotlah, "Ya sudah pernah khatam lah, emangnya kenapa, Bros?" gue sengaja panggil dia Bros yang artinya Brother Boss.



"Oh
gitu, apa loe pernah baca Al-Qur'an dari awal sampai akhir, terus lo
baca terjemahan artinya terus lo hapalin dari awal surat hingga akhir
surat?" tanyanya lagi dengan nada sok lucu gitu sih.



"Ya.... belumlah," jawab gue ragu karena kayaknya gue ngerti dia bakal ngomong apa.



"Nah
kalo belum, kenapa lo masih aja pake atribut-atribut muslim? Seolah elo
itu cuma kulitnya doang, tapi isinya lo gak kuasai." balasnya terkekeh,
dan gue bener-bener terpukul telak sambil urut dada (milik gue sendiri
lah, masak dada cewek, ntar gue digaplok lagi!). Gue ngerasa dongkol
banget, tapi gue sabar sambil meregangkan tangan gue, supaya nggak
mengepal. Kuatir ketahuan kalo gue emosi banget.



Ledekan-ledekan
Mr. Pariyo sebenarnya gak begitu berarti buat gue, sepanjang dia
konsekwen dengan ucapannya, dan dia emang mengajak gue pergi keliling
Asia untuk berkunjung ke
beberapa negara membereskan masalah bisnisnya ekspor Zeolite.



Toh
akhirnya, setelah kami menginap bersama di hotel di luar negeri, kami
sudah mulai seperti saudara sendiri, dan kebetulan selisih umur antara
gue dan Mr. Pariyo cuma tiga bulan. Dia kelahiran Desember 1967,
sedangkan gue kelahiran Februari 1968. Udah kayak kakak adek, yang suka
berantem, tapi tetap saling menyayangi, bisa paham kan lo Bro/Sis?
Gimana rasa siblings (saudara kandung)? Satu masa elo pengen nyekek
lehernya sampe krekek, tapi lain waktu lo bisa nyanyi-nyanyi bareng
sambil ketawa-ketiwi saling menyayangi.



Nah
ketika gue dan Mr. Pariyo, mengurus bisnis yang bermasalah di Bangkok,
teptanya di Distrik Shukumvit, kota Bangkok, ada satu resto gerai
McDonald di pojokan area Nana Business Center, yang tak jauh dari situ,
kira-kira 100 m ada kawasan Muslim. Khusus buat orang asing yang tinggal
sementara di Bangkok.



Satu pagi, keluar dari Amaris Hotel, Bangkok, gue sama Mr.Pariyo mau cari sarapan, pilihan jatuh ke McDonald.



Sayangnya bos gue ini, kurang hati-hati memilih makanan, meskipun dia tahu ini
Bangkok, kota non muslim, dengan seenaknya dia pesan sarapan di McD dan
langsung duduk menunggu pesanan diantarkan tiba.



Gue
curiga, karena gue
lihat di daftar menu di atas etalase bisa diputar ganti (movable), dan
itu berfungsi disesuaikan menu sajiannya dengan waktu makan. Waktu gue
baca di atas menu, banyak banget menu sarapan yang menggunakan bacon,
karena tulisannya ada 2 jenis, satu tulisan berhurup Thailand dan satu
lagi dalam bahasa Inggris. Mr. Pariyo gak sengaja memesan bacon burger
dengan dadar telur buat sarapannya.



Ya gue senyum aja
dalam hati, dasar si bos ini, udah bahasa Inggrisnya terbatas, eh pesan
makanan sembarangan di tempat yang gak terjamin halalnya. Gue anggap bos
gue ini agak katrok, maklum belum lama jadi OKB. Kalo sudah lebih dari
10 tahun jadi OKB, masih disebut OKB gak sih, atau sudah bisa disebut
OKB Senior atau masih OKB Junior? Hahaha, gue kadang geli lihat wajahnya
yang imut-imut bedebah itu.



Nah saat gue ganti
pesanan, dari bacon burger komplit ke chicken atau fish burger buat
breakfast, gue gak sadar, ada bule British, di samping gue yang merasa
gue menyalip antriannya. Gue bener-bener gak tahu, tapi kayaknya dia
naik emosi, Bro/Sis.



Biar pun gitu, gue gak lupa permisi sama dia, karena menyela antriannya.

"Sorry,
Sir. I just wanna change my order." dan dia pun tampak kesal dengan
tatapan mata yang agak merah yang gue gak tahu kenapa pada awalnya.
Sayangnya gue gak tahu kalo dia saat itu memang sedang mabuk. Jahannam
banget nih bule, rutuk gue dalam hati, melihat cara mandang gue yang
penuh dengan kebencian.



Kebetulan si petugas layanan
order, waitress gak begitu mahir berbahasa Inggris, ketika gue minta
ganti menu jadi chicken burger plus hot coffee. Jadi tentunya makan
waktu banget ngejelasin gue mau ganti menu sarapan paginya. Setelah
penjelasan njelimet dalam bahasa Tarzan selama 4 menitan, akhirnya sang
asisten manajer keluar, dan mengerti permintaan gue. Tapi si bule udah
keburu naik darah, dan keluarlah umpatan serta makian kecilnya dalam
bahasa Inggris yang kental, kayaknya emang logat British. Gue nggak
peduli, sepanjang dia jangan berani melihat langsung ke muka gue.



Begitu
gue duduk ambil kursi di depan bos, Mr.Pariyo, si bos meskipun
berpenampilan dengan kemeja dan jas, tapi tampak agak culun ini masih
asyik dengan gadgetnya berkomunikasi dengan kantor klien mereka yang
berlokasi di distrik Nonthaburi, Pakkret.



Dan berapa
menit kemudian, datang pesanan kami, chicken burger dan hot coffee,
selepas waitress mengantarkan pesanan di meja kami, si bule Inggris itu
duduk tepat 2 meter di samping Mr. Pariyo. Dan dia meracau dalam dialeg
British seperti orang kumur-kumur kayak orang wudhu. Sambil ngoceh,
beberapa remah rotinya berhamburan keluar. Iih jorok banget, pengen gue
pasangin kondom tuh kepalannya, biar gak belepetan kemana-mana
makananya.



Gue agak risih, tapi gue berusaha untuk
ramah. Ini di negeri orang, dan gue lagi ada urusan bisnis sama bos gue.
Jadi gue memang harus menjaga sikap serta berusaha sopan pada siapapun,
kecuali gue ini mafia. Sebenarnya, gue gak ada masalah, bahkan kalau
perlu gue bisa merender bule jahannam depan gue ini dengan sekali
kibasan pulpen tajam yang gue bawa selalu
di kantong saku baju tepat langsung merobek tenggorokannya. Tapi gue
muslim, dan gue berusaha menahan amarah gue. Itulah untungnya gue ngaji
sama ustadz gue, gue harus bersabar terhadap orang kafir. lagian ngapain
ini bule gue harus render, emangnya gue James Bond? Gila aja nih setan
bisikin telinga gue.



Boss sih gak begitu ngerti omongan
cepat tuh bule, tepatnya mumbling dari si bule yang sudah mulai berani
menatap mata gue secara nanar. Hmmm, gue gak bisa diam aja, gue berusaha
membuka komunikasi sopan.



"Sorry Sir, do you want to
say something to us? My boss and I are businessmen here, and we like to
talk to everyone around here peacefully! Particularly for our business.
And we don't want to make any problem here. OK?", gue berusaha tenang
menatap mata bule itu dengan lembut. Tentunya dengan menahan amarah dan
siap menerkam lehernya, jika dia membuat satu gerakan mencurigakan yang
mengancam.



"You people are the same everywhere, muslim
make noise and piss everybody's off!" kata-katanya yang seperti orang
berkumur-kumur ditambah dengan logat British-nya sudah merubah perasaan
gue dari emosi menahan marah jadi pengen ketawa ngakak. Oh gini toh
gayanya kalo bule Inggris mabok? Hahaha, gue ketawa dalam hati. Persis
kayak Mr. Bean lagi ngedumel.



(Maaf, tunggu bersambung
dulu yah, gue mau ke toilet bentaran, udah gak tahan nih kebeletnya
saking lucu nahan geli gue sama tu bule!)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama