Skandal 5.000 kuota dapur MBG Fiktif Membuka Resep Lama: Monopoli Dapur Lebih Gurih Daripada Sayur Sop
Di atas kertas, dapurnya 30. Di lapangan, yang beroperasi cuma dua. Sisanya? Kuota menguap jadi bisnis dadakan. Program MBG tersandung trik klasik: daftar dulu, bangun belakangan, kalau bisa dijual kenapa harus dimasak?

Menurutnya, bukan dapurnya yang fiktif, tapi kuotanya yang dimonopoli.
Sidik Warkop Chaniago, seorang jurnalis dan komika medioker berikan komentar nyeleneh: "Lah, jadi yang fiktif itu bukan dapurnya, tapi orang-orangnya yang pinter ngisi form online. Ini mah kaya booking tiket konser Coldplay—buka 5 menit langsung sold out, padahal yang nonton nanti cuma dua orang."
Irma memberi contoh bagaimana monopoli itu terjadi. Katanya, ada pihak yang mendaftar di semua wilayah hanya untuk mengunci kuota, padahal dapurnya nggak pernah nongol.
SidikWarkop menimpali, "Ibaratnya kayak nge-reservasi 10 meja di restoran, padahal dia cuma bawa Indomie rebus sendiri dari rumah. Meja penuh, orang lain gigit jari."
Menurut Irma, kondisi ini bikin aneh. Kuota sudah penuh, tapi dapur yang beneran beroperasi cuma segelintir. Ia bahkan menyebut ada 28 kuota yang diduga diperjualbelikan.
SidikWarkop menanggapi, "Wuih, 28 kuota dijual lagi? Jadi ini bukan dapur bergizi gratis, tapi dapur bergizi gratisan dulu, jual belakangan. Mirip reseller iPhone lah, bedanya ini kuota dapur."
Di sisi lain, Irma tetap bersyukur karena Badan Gizi Nasional (BGN) akhirnya menutup ribuan kuota fiktif itu. Setidaknya ada 5.000 yang digusur dari daftar.
SidikWarkop tak kalah sigap mengomentari "Alhamdulillah ditutup, kalau enggak bisa-bisa nanti logo MBG diganti: Makanan Bergizi Gratis jadi Makanan Berbisnis Gampang. Tinggal download aplikasi."
Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, buru-buru meluruskan. Ia bilang sebenarnya bukan fiktif, tapi mekanisme yang berubah.
Kalau dulu harus bangun dapur dulu baru daftar, sekarang malah daftar dulu baru bangun dapur.
SidikWarkop: "Pantes, jadi sekarang modelnya kayak beli rumah subsidi—booking fee dulu, bangunannya nyusul. Bedanya, ini bukan rumah, tapi dapur yang entah jadi entah nggak."
Nanik mengaku tak tahu siapa yang mengubah aturan itu. Perubahan tersebut terjadi tiga bulan lalu, sebelum ia masuk ke BGN.


SidikWarkop: "Waduh, klasik banget jawaban pejabat: 'Saya belum masuk waktu itu.' Kalau gitu saya juga bisa dong jawab gini ke debt collector: 'Waktu saya utang, saya belum masuk ke dunia perbankan.'"
Maka, skandal dapur MBG ini bukan sekadar urusan panci dan kompor. Ia jadi cermin, betapa mudahnya sebuah program gizi bisa berubah jadi program bisnis, asal jurus ‘monopoli kuota’ dimainkan.
SidikWarkop: "Kalau gini caranya, jangan kaget kalau suatu hari ada menu baru: Makanan Bergizi Gratis berubah kepanjangannya jadi Makan Bersama Geng Monopoli." [■]


إرسال تعليق
Silakan beri komentar yang baik dan sopan