Hari Santri Nasional di Mata Mantan Aktivis Mahasiswa GMNI, Nyimas Sakuntala Dewi
“Banyak yang berbicara tentang pesantren tanpa tahu betul seperti apa kehidupan di dalamnya. Padahal pesantren adalah tempat membentuk karakter, moral, dan disiplin,” katanya.
— KOTA BEKASI | Ada kalimat klasik yang bilang: “Rindu itu datang tanpa diundang, pulangnya pun suka lupa jalan.” Mungkin itu juga yang kini dirasakan Nyimas Sakuntala Dewi — aktivis perempuan sekaligus alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) — saat mengenang masa-masa nyantri di pondok pesantren.Di momentum Hari Santri Nasional 2025, Nyimas menulis refleksi yang mengalir jujur: tentang kedisiplinan yang kadang keras tapi mendidik, kehangatan yang sederhana tapi membekas, dan kebersamaan yang kadang lebih erat dari sekadar ikatan darah.
“Saya menulis ini bukan berarti saya lebih alim atau saleh daripada siapa pun. Tapi saya teringat masa-masa ketika saya nyantri di pondok. Saya rindu suasana hangat, senda gurau, dan kedisiplinan yang luar biasa,” ujarnya.
Satu pengakuan jujur yang mungkin bisa membuat banyak mantan santri mengangguk pelan sambil tersenyum getir.
Sebab siapa pun tahu, minggu pertama di pesantren itu seperti minggu percobaan bagi jiwa dan raga.
“Saya sempat ingin kabur karena jam setengah tiga pagi sudah harus bangun, mandi, lalu ke masjid untuk tahajud, salat Subuh, dan membaca Al-Qur’an sebelum masuk kelas. Tapi seiring waktu, saya menikmatinya dan justru merasa betah,” kenangnya.
Kalimat itu menggambarkan bahwa rasa betah memang tidak datang dari fasilitas, tapi dari kebiasaan yang akhirnya menjadi kenangan.
Menurut Nyimas, kehidupan santri mengajarkan banyak hal yang tak diajarkan di kampus mana pun: disiplin, kebersamaan, dan keteguhan hati.
“Telat sedikit saja bisa disabet pakai lidi. Tapi dari situlah kami belajar tanggung jawab dan kemandirian. Saya sangat merindukan masa itu,” ungkapnya dengan nada haru.
Humor tipis pun terselip di balik pengakuan itu—karena setiap sabetan lidi rupanya menyimpan pelajaran tentang hidup yang tak sempat dijelaskan dengan PowerPoint.
Lebih jauh, Nyimas menyoroti banyaknya pandangan keliru tentang dunia pesantren di era sekarang.
“Banyak yang berbicara tentang pesantren tanpa tahu betul seperti apa kehidupan di dalamnya. Padahal pesantren adalah tempat membentuk karakter, moral, dan disiplin,” katanya.
Dalam tulisannya, ia tak hanya bernostalgia, tapi juga mengaitkan kisah pribadinya dengan makna Hari Santri Nasional, yang setiap tahun diperingati pada 22 Oktober.
Sebuah tanggal yang bukan sekadar seremoni, melainkan pengingat akan sejarah panjang perjuangan kaum sarungan.
“Sejarah mencatat peran penting santri dalam peristiwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, ketika para ulama dan santri bersatu melawan penjajah. Semangat itu harus terus kita jaga,” tegas Nyimas.
Ia menambahkan, peran santri kini semakin luas — tidak hanya di bidang keagamaan, tetapi juga dalam pendidikan, ekonomi, hingga kepemimpinan.
“Banyak tokoh bangsa lahir dari kalangan santri, seperti Pangeran Diponegoro, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Wahid Hasyim. Mereka adalah bukti nyata bahwa santri memiliki peran besar bagi negeri ini,” ujarnya.
Menutup refleksinya, Nyimas menyelipkan ajakan sederhana tapi bermakna—agar semangat juang para santri tak hanya diperingati, tapi juga dilanjutkan.
“Hari Santri Nasional adalah momentum untuk mengenang jasa para santri dan meneruskan semangat mereka dalam membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berkeadaban,” pungkasnya.
Di antara hiruk pikuk zaman dan gempuran media sosial, suara Nyimas menjadi pengingat: bahwa rindu pada pesantren bukan sekadar nostalgia, tapi bentuk rasa hormat pada akar moral bangsa — tempat di mana kesederhanaan, kedisiplinan, dan ketulusan pernah tumbuh subur tanpa perlu trending di mana-mana.. [■]

إرسال تعليق
Silakan beri komentar yang baik dan sopan