HASIL SURVEI pribadi DI DAERAH JATIASIH BEKASI
Berdasarkan pula atas saran gila dari sahabat saya Dian PP
Bekasi, Jatiasih - dobeldobel.com
Alasan pertama saya adalah: Walikota Bekasi yang sedang menjabat pada saat kejadian penggerebekan teroris di Jatiasih secara tidak langsung membiarkan masuknya orang-orang baru dari luar kota tanpa surat-surat lengkap dengan bebas tinggal menetap di Kota Bekasi. Padahal Kota Bekasi sebagai kota penyangga metropolitan ibukota negara yang kebetulan mempunyai akses ke mana saja, termasuk langsung ke kediaman Presiden SBY di Cikeas. Artinya kelalaian pimpinan puncak untuk tidak memperketat aturan kependudukan khususnya bagi para pendatang dan pemukim sementara memang bisa dikategorikan kesalahan FATAL.
Jadi wajar saja bila para teroris (saya juga perlu menambahkan para lelaki kaya atau pejabat kelebihan duit mau menyembunyikan istri muda simpanan) memilih Jatiasih sebagai tempat yang paling tepat karena kemudahan aksesnya dan kelonggaran peraturan kependudukan wilayah. Cukup hanya dengan KTP tanpa surat keterangan lain, seseorang bisa mengontrak atau mengekos di wilayah yang memang masih cukup sepi ini.
Alasan kedua menurut saya peribadi dan hasil survey di lapangan adalah kinerja aparat keamanan terkait yang masih terkesan belum inisiatif serta antisipatif melainkan masih sekadar reaktif dan responsif bila mendapat sinyal dari pusat saja. Cepatnya kinerja kepolisian di Resort Metro Kota Bekasi membuktikan itu, bahwa respons dan reaksi yang begitu cepat menggerebek teroris di Jatiasih dan tindakan pendukung yang mendahului maupun yang mengikuti kemudian memang sangat luar biasa. Tapi sampai kecolongannya wilayah kerja (yurisdiksi) Polres metro Bekasi dan juga Kodim 0705 tentunya menunjukkan kegiatan intelijen berkesan tidak bersifat antisipasif atau represif sama sekali. Hehehehehe ini sih masih teori saya, tapi kenyataannya kayaknya nggak jauh beda. Kalau saya nanti dipanggil pihak aparat yang terkait dengan tulisan ini, saya akan tetap mengatakan dan menjelaskan hal yang sama seperti tulisan ini diterbitkan.
Intinya adalah, kalau saya jadi KANDIDAT teroris, maka akan sangat senang sekali masuk ke wilayah Bekasi, karena sepertinya suasana kondusif buat mencari tempat bersembunyi dan melakukan kegiatan rahasia masih bisa dilakukan di Bekasi, khususnya Jatiasih yang punya akses luas sekaligus masih belum padat penduduk.
Saya teringat dengan seorang teman saya dari intelijen KODIM dan BIN yang mengatakan bahwa pemetaan TKP kriminalitas di kepolisian maupun Kodim hingga tingkat terendah (Polpos dan Koramil) bisa sebagai acuan sementara untuk menentukan arah angin kecenderungan kegiatan-kegiatan terselubung segala bentuk. Data statistik dan pemetaan kejadian istimewa kriminalitas serta sosial politik kadang jadi bahan rujukan pra-intelijen yang ampuh. Dan hal ini ditengarai memang tidak disikapi secara lebih teliti oleh aparat dimaksud.
Kegiatan sosial keagamaan di wilayah Jatiasih masih sangat minim kalau nggak mau dibilang nyaris hampir nggak ada. Terbukti saat saya mewawancarai salah seorang penanggung jawab usaha resto yang ada di Jatiasih mengatakan, kegiatan sosial di bulan puasa sepertinya dia pesimis bisa ikut mensponsori dan berpartisipasi meramaikan. Karena berdasarkan pengalamannya selama beberapa tahun terakhir bahwa kegiatan sosial keagamaan yang serupa jarang berjalan dan jarang pula yang mau mensponsori. Karena Jatiasih, sekali lagi memang masih sepi bak tempat jin buang anak (walaupun kini sudah kian ramai komplek perumahan penduduk, tapi masih jauh dari cukup).
Alasan berikutnya kenapa para teroris (dan saya mau menambahkan lagi, para penjahat kelamin yang berkantong tebal) memilih Jatiasih sebagai basecamp mereka adalah pembangunan infrastruktur yang masih belum merata di semua wilayah Kota Bekasi, bahkan cenderung timpang dan tampak sarat dengan kolusi. Di satu daerah begitu modern pembangunannya dan terlalu lengkap, di lain tempat begitu terbelakang dan terabaikan (neglected) yang sepertinya kok kayak nggak tersentuh modernisasi. Ah kayaknya seh nggak begitu juga, setelah saya perhatikan lebih dalam, tapi coba Anda bayangkan perbedaan (baca: gap) antara dua wilayah yang begitu berdekatan seperti KEMANG PRATAMA dan TPA BANTAR GEBANG. Kok bisa ya begitu itu terjadi di kota Bekasi yang terkenal sebagai Kota Ihsan itu? Kenapa Hayo?????
Ya itu lagi, gara-gara pemimpin tertingginya yang lalai memperhatikan secara serius pembangunan kota Bekasi secara komprehensif dan terpadu (integral). Lebih tepatnya, saya bilang KURANG SERIUS dari pada nggak ada perhatiannya sama sekali. Karena setahu saya, sang pemimpin Kota Bekasi masih sering memperhatikan PROYEK-PROYEK yang berkaitan dengan TPA Bantargebang.... (lagian sapa yang nggak tertarik proyek Bung? Hahahahaha)
tulisan berikutnya dilanjutkan.....
Sidik Kelana Rizal
Jakarta - Noordin M Top masih bebas berkeliaran. Penyergapan demi penyergapan yang dilakukan Densus 88 terhadap gembong teroris itu selalu kandas. Teranyar, aksi penyergapan yang dilakukan di sebuah rumah di wilayah Temanggung, Jawa Tengah, yang disebut-sebut tempat persembunyian Noordin juga nihil.
BalasHapusHasil forensik dan tes DNA polisi terhadap mayat yang tewas dalam sebuah penyergapan selama 17 jam di Temanggung, ternyata bukan Noordin, tapi Ibrohim, si floris Hotel Ritz-Carlton.
Sosok teroris asal Malaysia ini memang dikenal sangat lihai. Noordin dikenal sangat cerdik dan pandai dalam mengelabui petugas yang mengejarnya. Sekalipun jaringan yang dia miliki sudah mulai dipangkas.
Dalam buku "Terorisme Undercover" yang ditulis pengamat intelijen Wawan Purwanto disebutkan, pasca bom kuningan, tahun 2003, kekuatan Noordin semakin melemah. Ia mulai kekurangan pasukan tempur. Sekalipun pasokan dana dan senjata terus mengalir.
Kondisi itu membuat Noordin mulai berpaling ke kelompok di luar Jamaah Islamiyah (JI). Mereka adalah sempalan Darul Islam dan Yayasan Kompak, yang pada 1999 sempat menggerakkan massa Islam dalam kerusuhan Ambon.
Namun Darul Islam dan Kompak, ternyata tidak sepakat dengan keinginan Noordin. Toh sekalipun kedua pentolan kelompok itu menolak, sejumlah anggota kelompok tersebut banyak yang tertarik dengan ajakan Noordin. Mereka kemudian menjadi pengikut Noordin. Apalagi dua pimpinan Darul Islam dan Kompak, telah ditangkap Densus 88, pertengahan 2005.
Dengan dukungan sempalan kelompok Darul Islam dan Kompak, Noordin memulai kembali aksinya. Pada 1 Oktober 2005, anak buah Noordin melakukan bom bunuh diri di Kuta dan Jimbaran, Bali. Yang jadi sasaran Kafe Nyoman, Kafe Menega, dan restoran R.AJA’s. Aksi teror yang ditebar Noordin setidaknya menewaskan 23 orang dan 196 lainnya luka-luka.
Teror bom Bali II menandakan kekuatan jaringan yang dibangun Noordin kembali pulih. Ia juga melakukan reorganisasi terhadap sel-sel jaringannya, sehingga lebih terorganisir dan didesain untuk melakukan operasi militer.
Tapi lagi-lagi kekuatan Noordin tidak berlangsung lama. Setahun kemudian jaringan yang baru dibangun Noordin terendus Densus 88. Dua orang pengikutnya, yang bertugas sebagai kurir dan perekrutan anggota baru tewas ditembak Densus 88 di Dusun Binangun, Wringinanom, Kertek Wonosobo, 29 April 2009.
Berikutnya, jaringannya di Plumpang, Jakarta Utara, Palembang, dan Cilacap juga diobrak-abrik. Itu sebabnya sepanjang tahun 2006 hingga awal 2009, Noordin lebih fokus merekrut anggota-anggota baru. Di samping mempersiapkan rencana teror berikutnya.
"Reorganisasi yang dilakukan Noordin cukup merepotkan petugas. Sehingga ia sulit ditangkap sekalipun jejak-jejak Noordin terus ditelusuri," ujar Wawan.
Kemampuan Noordin dalam mempengaruhi orang diakui bekas koleganya, Nasir Abbas. Menurutnya di buku "Terorisme Undercover", Noordin merupakan seorang motivator ulung. Sehingga orang-orang yang direkrutnya rela melakukan bunuh diri.
Kehebatan Noordin dalam memotivasi itu pula yang membuatnya selalu lolos dalam aksi penyergapan Densus 88. Mereka selalu dikelilingi orang-orang yang siap mati untuk melindunginya. Hal ini terbukti dalam penyergapan yang dilakukan Densus 88 di Temanggung. Orang yang sebelumnya disangka Noordin ternyata Ibrohim.
Selain punya pengikut yang loyal, Noordin juga punya pelindung yang diduga sangat kuat dan tidak tersentuh. "Dia punya user yang tidak tersentuh. Kalau mau menghentikan aksi teror Noordin harus ditindak dulu usernya," tulis Wawan.
Namun siapa user yang adalah bos Noordin tentu saja masih gelap. Beberapa analisis intelijen Indonesia memperkirakan user Noordin berasal dari intelijen luar negeri, misalnya Amerika Serikat (AS).
(ddg/iy)
(Sambungan tulisan 2 dari 2 bagian)
BalasHapusWawan mengingatkan meskipun polisi berhasil menggulung kelompok teroris yang membom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, teror bom belum akan berakhir. Teror itu tidak akan pernah berakhir jika pemerintah tidak berhasil mengungkap siapa user para teroris ini dan tidak membabat akar terorisme.
Wawan mengurai, jejak terorisme sulit dilepaskan dari keberadaan kelompok ideologis di Indonesia. Kelompok ideologis seperti Darul Islam (DI) telah ada sejak kemerdekaan RI diproklamirkan. "Saat itu mereka berulang kali merongrong keamanan negara dengan tujuan supaya negara Islam terbentuk dan syariat Islam dijalankan di NKRI," jelas Wawan.
Gerakan idelologis ini dapat dipatahkan saat pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Semasa Soeharto, organisasi DI maupun pecahannya terus dipantau ketat gerakannya. Sejumlah tokoh yang terlibat terus diawasi. Pembatasan ruang gerak ini membuat anggota-anggota DI dan jaringannya tidak berdaya. Mereka kemudian memilih hijrah ke negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Afganistan, serta Pakistan.
Kelompok Islam radikal asal Indonesia itu kemudian mendapat pelatihan-pelatihan militer di Filipina, Afganistan maupun Pakistan. Selain berlatih ala militer mereka juga banyak yang terlibat peperangan di Afganistan maupun di Mindanao.
Nah, ketika reformasi terjadi di Indonesia, banyak dari kelompok radikal asal Indonesia yang pulang ke tanah air. Para mantan pejuang Mujahidin ini kemudian berkumpul kembali dan membentuk sebuah organisasi yang mereka beri nama Jamaah Islamiah (JI).
Tokoh-tokoh penting organisasi tersebut antara lain, Hambali, Umar Al Faruq, Azahari, Noordin M Top, Encep Nurjaman, Ali Imron, Imam Samudra, dan Muchlas.
Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapat di Afganistan dan Minadanao, mereka kemudian berusaha memaksakan ideologi mereka di Indonesia. Masing-masing anggota yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia maupun Malaysia, kemudian membentuk jaringan dengan merekrut anggota-anggota baru.
Pola-pola gerakan mereka pasca pulang dari Afganistan dan Mindanao sudah berubah dibanding gerakan DI/TII. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, misalnya dengan melakukan pertempuran secara terbuka dengan aparat.
"Gerakan mereka sejak tahun 2000 beralih ke aksi bawah tanah dan teror bom. Pola seperti ini mereka dapat saat mereka berada di Timur Tengah," ujar wawan.
Ditambahkan Wawan, aksi-aksi teror itu selain untuk menunjukan eksistensi mereka, juga untuk menggalang para pengikut dari kalangan umat Islam yang berpikiran radikal dan kalangan awam. Itu sebabnya mereka menjadikan orang di luar Islam maupun kepentingan-kepentingan barat sebagai sasaran.
Namun, menurut pengamatan Wawan, aksi yang dilakukan para teroris saat ini sudah bergeser sasarannya. Mereka tidak hanya membidik orang asing atau kepentingan negara barat di Indonesia. Sekarang mereka sudah mengincar properti milik pemerintah, termasuk presiden RI.
"Informasi itu saya dapat sejak 3 tahun lalu. Jadi pernyataan Polri yang menyebutkan rumah SBY akan jadi sasaran itu bisa jadi benar. Karena para teroris menganggap pemerintah sudah menjadi antek AS,"pungkas Wawan
Jakarta - Selama ini Noordin M Top disebut-sebut sebagai gembong teroris di Indonesia. Namun ada fakta yang memberi bukti, Noordin dan Dr Azahari hanyalah pelaku lapangan yang dibayar. Siapa bos di belakang mereka?
BalasHapusPengamat intelijen Wawan Purwanto membuat kesaksian yang mengejutkan dalam bukunya yang berjudul "Terorisme Undercover". Dalam buku setebal 404 halaman yang dilaunching 8 Agustus 2009 itu, Wawan membeberkan Noordin dan Dr Azahari hanya orang suruhan.
"Seminggu setelah peristiwa bom di Kedubes Australia, 9 September 2004, Noordin M Top dan Dr Azahari terlihat memasuki sebuah Kedubes di Jakarta. Keduanya lantas diberi uang ribuan dollar AS dari pihak Kedubes tersebut," tulis Wawan dalam bukunya.
Informasi tersebut didapatkan Wawan dari salah satu pendamping Noordin dan Azahari yang saat itu ikut ke Kedubes tersebut. Namun, saat dikonfirmasi kedubes mana yang dimasuki Noordin dan Azahari, Wawan tidak mau membocorkannya.
Hanya Wawan menegaskan, hal tersebut membuktikan adanya keterlibatan asing dalam terorisme di Indonesia. Menurut Wawan, kelompok teroris di Indonesia telah berafiliasi dengan beberapa kelompok teroris yang ada di sejumlah negara, terutama di wilayah Timur Tengah.
"Teror yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari teror global. Mereka bisa terus beraksi karena ada pasokan teknologi maupun dana dari luar negeri," tegas pendiri Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LKPN) tersebut.
Tindakan Azahari dan Noordin memperoleh uang juga membuktikan aksi yang dilakukan kedua gembong teroris sebenarnya ada pemesannya alias ada usernya. Siapa dia? Sampai saat ini hal itu masih menjadi misteri.
Dr Azahari telah tewas saat disergap petugas di Batu Malang, Jawa Timur, 9 November 2005. Sementara Noordin yang sempat diduga tewas di Temanggung, Jawa Tengah, masih buron.
(Tulisan 1 dari 2 bagian)
Posting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan