Pilpres 2014 yang Penuh Keanekaragaman Hayati, Bahkan Termasuk Pilpres dengan Kampanye Terpanas
kandidat-kandidat.com, Senin 23 Juji 2014, 05:26 WIB
JAKARTA, bksOL - Para pengamat sosial politik, seniman, komedian dan media pers yang sering disebut sebagai pihak ketiga ini selalu mendapatkan materi ide kreatif dan penulisan obyek observasi yang menarik, di saat obyeknya adalah tokoh terkenal seperti pemimpin yang kadang sering dikultuskan menjadi sosok agung dan terkadang tak bercacat cela.
Justru sebagai pihak ketiga ini maka media lebih sering didengar publik dan diperhatikan. Ketika mereka memberikan komentar baik positif maupun negatif dengan gaya penyampaiannya yang menyenangkan dan menghibur saat dinikmati publik, maka justru hal seperti ini yang cepat berkembang di masyarakat, dari mulut ke mulut.
Pada pemilihan calon presiden dan wakilnya pada pilpres 2014 kali ini, saya pribadi telah melakukan observasi sederhana sebagai seorang penulis, komikus, kamika dan komedian, dan kenapa saya harus melakukannya?
Karena dengan menuliskannya maka saya bisa menjadikannya bahan kajian buat semua orang yang membacanya dan mendengarkan aksi di atas panggung nanti.
Terlepas dari masalah apakah nanti bisa menyinggung satu pihak tertentu, maka dari awal tulisan ini saya buat, bahwa tak ada maksud saya untuk menghina atau mendikreditkan pihak manapun, kecuali hanya sebagai bahan renungan dan jika tersinggung, ya salah mereka sendiri kenapa tersinggung.
Memangnya harus saya peduli. Prinsip saya tinggal pencet, BOOM! Selesai sudah. Buat apalagi?
Tulisan ini adalah hasil observasi, kalau pembaca menganggap ini sebagai kritikan, ya silakan saja. Tapi saya tidak ingin mengkritik siapapun, saya cuma mau bercanda dan membuat kajian yang mungkin semua orang bisa merenungkannya. OK?
Bagus kalau masih percaya, tapi sebaiknya jangan percaya pada saya. Percaya saja pada Allah SubhanaHu wa Ta'ala. Hehehe, begitu saja dimasukkan ke dalam hati. Apa tidak melelahkan, wahai saudaraku?
Pernah dengar sekelompok komunitas Janda memberikan dukungan buat Jokowi untuk bisa menjadi presiden mendatang. Yang mau saya tanyakan adalah, lalu komunitas para duda nanti akan memberikan dukungan kepada siapa? Kira-kira Anda tahu tidak jawabannya?
Itu salah satu joke yang berkaitan dengan pencapresan 2014. Bagaimana dengan anekdot lainnya?
Lalu kenapa saya buat judul seperti di atas?
Ya karena itu tadi. Saya ini penulis sekaligus pengamat sosial politik dan juga komikus, komika dan komedian.
Jikalau gak ada yang jadi obyek inspirasi karya kreatif saya dan sumber ide setiap aksi saya, bagaimana bisa saya mencari nafkah untuk menghidupi keluarga saya?
Obyek tokoh terkenal seperti artis, selebriti, tokoh pejabat publik baik yang baik-baik saja, maupun yang kontroversial serta yang aneh nyeleneh dan lebih sering yang dianggap publik tokoh antagonis (penjahat?) sekalipun, maka itu bisa jadi sumber inspirasi bagi saya.
Sepanjang mereka tidak tersinggung dan marah, berarti saya aman. Hehehe, sepertinya kalian mulai tahu bukan, kemana kira-kira arah maksud tulisan saya ini?
Betul sekali, jika Jokowi yang jadi Presiden RI, maka dialah calon terbaik buat obyek materi penulisan artikel kritik sosial dan politik saya baik di media maupun nanti jadi bahan materi aksi saya di atas panggung StandUp Comedy.
Karakter Jokowi memang sangat pas buat dijadikan obyek kelucuan siapapun, meskipun mungkin nanti saya akan melawan mainstream dunia sosial politik, saya tidak peduli.
Bahkan sekalipun nanti para komika, seniman seperti komikus (pembuat komik) eh komika (maksud saya) dan komedian akan berbeda pendapat dengan saya. Justru hal itu yang saya sadar betul akan saya hadapi.
Memang saya peduli, tinggal pencet, BOOM! Selesai sudah.
Ketika Jokowi sebagai Walikota Solo, memang belum bisa dijadikan obyek penulisan materi kritik sosial ataupun materi komedi.
Dan setelah beberapa waktu ternyata dia mempunyai sepak terjang yang luar biasa, meskipun secara kualitatif kinerjanya sebagai kepala daerah, saya masih harus melakukan banyak penelitian yang lebih jauh dan komprehensif. Sehingga nanti tulisan saya bisa menjadi sebuah catatan sejarah yang tidak ada kepentingan politis dari pihak manapun.
Karena saya sadar betul, sejarah terkadang lebih sering ditulis dan diabadikan sesuai dengan kepentingan siapa yang sedang berkuasa, bukan?
Memang saya peduli, tinggal pencet, BOOM! Selesai sudah.
Ketika Jokowi sebagai Walikota Solo, memang belum bisa dijadikan obyek penulisan materi kritik sosial ataupun materi komedi.
Begitu dia mencalonkan diri dan berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta, maka semua orang mulai sadar ini dia orang yang tepat untuk menjadi figur kerakyatan yang pantas diperhatikan.
Dan setelah beberapa waktu ternyata dia mempunyai sepak terjang yang luar biasa, meskipun secara kualitatif kinerjanya sebagai kepala daerah, saya masih harus melakukan banyak penelitian yang lebih jauh dan komprehensif. Sehingga nanti tulisan saya bisa menjadi sebuah catatan sejarah yang tidak ada kepentingan politis dari pihak manapun.
Karena saya sadar betul, sejarah terkadang lebih sering ditulis dan diabadikan sesuai dengan kepentingan siapa yang sedang berkuasa, bukan?
Saat Jokowi menjabat jadi Gubernur DKI Jakarta, saya tidak pernah menganggap dan menemukan kekurangannya dalam melakukan tugasnya sebagai kepala daerah.
Namun ketika dia sudah mulai digadang-gadang partai politik yang dipimpin Megawati SP, mulai terkuak sedikit hal-hal unik dan lucu dalam penilaian saya untuk bisa diekplorasi sebagai materi penulisan sosial politik dan obyek candaan saya, yang sekali lagi saya tekankan buka sebagai pelecehan tapi justru kritik membangun dengan maksud menghibur yang bisa dijadikan bahan perenungan kita semua.
Anda setuju? Ya silakan saja dibaca hingga tuntas. Jika tidak setuju, tunggu saja sampai saya bisa membuktikannya satu waktu nanti kepada Anda secara langsung.
Begitu Jokowi alias Ir. H. Joko Widodo menyetujui dirinya jadi capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) maka mulai dari saat itu saya berharap, mudah-mudahan saja semua keinginannya itu bisa diperolehnya, meskipun mungkin nanti dia bisa juga gagal total.
Saya berharap dia jadi, supaya saya bisa membully (menjadikannya bulan-bulanan materi penulisan aksi komedi saya) calon presiden RI 2014 ini ke level yang lebih serius dan lebih lucu.
Tapi bukan berarti saya akan membuka aib-aib pribadinya, karena itu adalah hal yang sangat dipantangkan dalam setiap penulisan dan aksi saya.
Kecuali itu sudah menjadi konsumsi publik yang dianggap mendekati kebenaran, namun tetap saja saya lebih berhati-hati menggunakannya.
Karena saya takut, jika saya membicarakan pak Jokowi di belakangnya, saya bisa termasuk saudara se-Islam yang mau memakai bangkai saudaranya sendiri.
Jelas pak Jokowi adalah saudara seagama saya, jadi kalau saya membicarakan aib pribadinya, itu sama saja memakan bangkai pak Jokowi. Hiiiiih menjijikkan, jangankan memakan bangkainya, terkadang melihatnya mencalonkan diri jadi presiden RI dan belum menyelesaikan tugasnya jadi Gubernur DKI saja, sudah membuat saya jijik, apalagi mengemut dagingnya.... Ihhh...! Tidak bisa dibayangkan, bukan?
Tapi kalau hanya menjadikannya obyek candaan dengan membahas masalah kebijakan sosial dan politiknya dan perilakunya ketika menjadi pejabat publik, mungkin hal ini bagi saya tak masalah untuk dibahas dalam setiap diskusi umum dengan siapapun melalui media apapun bukan?
Saya suka Jokowi, tapi apa Jokowi suka saya? Kalaupun dia suka, saya kan bukan homo. Jadi ini yang membuat saya jadi harus hati-hati untuk menyukai Jokowi bukan? Kalau ternyata Jokowi nanti suka sama saya bagaimana? Hahahaha, saya gak ketawa, tapi ini ketikan jari tangan saya mengekspresikan rasa geli saya, jika benar-benar pak Jokowi suka sama saya.
Apa yang akan saya lakukan kalau Jokowi benar-benar suka dengan saya? Saya adalah warga DKI Jakarta, dengan KTP juga DKI Jakarta. Jadi saya tahu persis di DKI Jakarta itu banyak sekali terjadi penyimpangan seksual, seperti homoseks. Jadi saya suka berhati-hati dengan banyak orang terutama yang punya penampilan mencurigakan.
Dulu sewaktu saya masih remaja hingga kuliah saya pernah beberapa kali menjadi target korban pelecehan seksual dari kaum homo. Saya bukan homophobia sejak saya dewasa dan memelihara jenggot baru saya merasa aman.
Bagi saya homo juga manusia. Dia bebas menyukai siapapun, namun kita harus hati-hati dan waspada buat mereka kaum lelaki yang suka dengan saya sebagai sesama kaum laki-laki.
Demikian pula ketika saya nanti akan bertemu dengan pak Jokowi, kemudian jika beliau pada akhirnya suka dengan saya. Saya sedang membayangkan kalau saya jadi korban pelecehan seksual seperti sodomi, pasti sangat menyakitkan bukan? Saya sendiri pernah mencoba memasukkan satu jari saya ke dalam anus saya ketika ambeien saya kumat dan sakitnya luar biasa.
Coba bayangkan jika saya bertemu dengan pak Jokowi, dia pasti akan memberi saya sebuah salam khas darinya, "Salam Dua Jari!" Aduh.... ini pasti jauh lebih menyakitkan daripada satu jari, bukan?
Eits, jangan marah dulu saudaraku. Saya tak bilang bahwa pak Jokowi itu homo. Tapi ini adalah pengandaian untuk membandingkan pemberitaan beberapa kawan dan kolega saya dari berbagai kalangan yang mengatakan bahwa Prabowo tak punya titit.
Coba bayangkan jika hal ini juga dialami oleh pihak yang mendukung Jokowi atau keluarganya yang mendengar berita atau gossip bahwa Jokowi dianggap homo? Pasti tidak enak bukan?
Hahaha... Nah kira-kira begitu. Hal ini adalah pernyataan umum yang juga berlaku buat pak Prabowo. Tapi saya tidak kuatir jika saya bertemu dengan beliau. Karena apa? Saya tahu dia tidak akan memberi salam dua jari buat saya, bukan?
Hahaha... Nah kira-kira begitu. Hal ini adalah pernyataan umum yang juga berlaku buat pak Prabowo. Tapi saya tidak kuatir jika saya bertemu dengan beliau. Karena apa? Saya tahu dia tidak akan memberi salam dua jari buat saya, bukan?
Yah kalau cuma satu jari, meskipun jari tengah itu bukanlah ancaman buat saya. Saya tidak mencurigai dia itu gay, gak ada tampang, meskipun banyak orang bilang dia itu duda. Tapi bagi saya dia itu duda paling diminati di negeri nusantara ini, bukan?
(Mungkin asalnya dari media barat berbahasa Inggris yang mengatakan "Prabowo now is Titit-less", tapi setelah diteliti lebih jauh, itu hanyalah typo, kesalahan cetak dan tulis. Tulisan sebenarnya adalah "Prabowo now is Titik-less, after divorce his wife Titik Soeharto". Hahahaha, serius ini bukan serius).
Pertama kali saya mendengar hal ini saya langsung tertawa ngakak karena tidak percaya. Tapi semakin sering saya bertemu dengan banyak lawan politiknya dan juga beberapa tokoh penting di tingkat menengah ke bawah, semakin santer hal ini dibicarakan.
Satu hal lagi yang membuat saya itu bisa tenang jika berada di dekat pak Prabowo. Karena banyak sekali black campaign yang tadi sudah saya sebutkan dan jadi rahasia publik dimana Prabowo itu dikatakan tidak mempunyai alat kelamin (titit-less)
(Mungkin asalnya dari media barat berbahasa Inggris yang mengatakan "Prabowo now is Titit-less", tapi setelah diteliti lebih jauh, itu hanyalah typo, kesalahan cetak dan tulis. Tulisan sebenarnya adalah "Prabowo now is Titik-less, after divorce his wife Titik Soeharto". Hahahaha, serius ini bukan serius).
Pertama kali saya mendengar hal ini saya langsung tertawa ngakak karena tidak percaya. Tapi semakin sering saya bertemu dengan banyak lawan politiknya dan juga beberapa tokoh penting di tingkat menengah ke bawah, semakin santer hal ini dibicarakan.
Yang jadi pertanyaan saya, lalu kenapa masalah sepele seperti "titit' Prabowo dijadikan obyek komoditas kampanye politik. Ini yang menurut saya tidak relevan, bahkan bagi saya inilah bentuk penindasan media dan para penyebar fitnah yang tidak suka dengan sosok Prabowo.
Coba bayangkan jika Prabowo memang benar kehilangan "titit"nya saat dia ditugaskan negara di Timor Timur untuk memerangi tentara Fretilin, dimana dia harus berkorban secara heroik seperti itu. Bukankah hal itu berarti salah satu bentuk pengorbanan dan keikhlasannya sebagai anak bangsa bagi negerinya yang tercinta.
Wajar saja kalau Gus Dur pernah bilang Prabowo adalah salah satu putra terbaik bangsa yang sangat ikhlas berbuat segala sesuatu untu negerinya. Hmmmmm, kini saya tahu dimana "ikhlas"nya.
Dan jika perihal kehilangan tititnya itu benar, maka bagi saya, hal itulah yang membuat saya jadi aman dekat dengan pak Prabowo, karena dapat dipastikan saya tak mungkin diperkosa olehnya bukan? Hahahahaha....
Bagi saya Prabowo adalah sosok bapak bangsa yang tak pantas dijadikan obyek komedi oleh siapapun. Sekalipun ada, pasti karena mereka tak bisa mendekatinya. Itu saja.
Demikian pula halnya dengan Jokowi, jika dia tetap menjadi Gubernur DKI Jakarta, maka dia juga tak pantas dijadikan obyek komedi ataupun kritik sosial politik.
Tapi dikarenakan dia mencalonkan diri jadi capres, maka jangan salahkan saya, dia akan dijadikan bulan-bulanan anekdot para seniman komedian dan obyek artikel kritik sosial politik para awak media.
Lalu dari mana nanti saya dan orang yang seperti saya mencari makan, jika Prabowo jadi Presiden RI periode mendatang. Tenang saja, Prabowo-Hatta mempunyai banyak kandidat menteri dari para politisi elit yang saya tahu persis mereka kini berkoalisi dengan beragam niat dan agenda politis.
Jadi ketika mereka nanti diangkat jadi menteri dalam kabinet Prabowo - Hatta, maka dapat dipastikan merekalah yang sebenarnya bisa dijadikan obyek materi komedi orang seperti saya, seniman, komika dan rekan-rekan wartawan lainnya.
Bagaimana setuju bukan? Oleh sebab dari itu, maka apapun pilihan Anda, maka pilihlah presiden yang bisa memberikan Anda untuk bisa lebih banyak kreatif mengkritisi pemerintah dan para pejabat legislatif di tingkat elit politik.
Ingatlah akan satu hal, legislatif kita sudah dipegang oleh satu partai besar yang berbasis kerakyatan, yakni mayoritas didominasi oleh PDIP maka sudah sebagai satu kewajaran dan keseimbangan alamiah, jika eksekutifnya juga haruslah BUKAN dari partai banteng hitam mata merah moncong putih itu bukan?
Karena kita tidak mau kekuasaan dipegang oleh satu kelompok parpol atau golongan saja, sehingga timbullah kekuasaan mutlak atau absolut. Jika hal ini terjadi berarti apa yang dikatakan seorang filosof terkenal bisa terjadi, dan tentunya kita semua tidak mau hal ini terjadi.
Kekuasaan yang mutlak di satu tangan kelompok atau golongan tertentu maka akan semakin besar peluang korupnya. Sudah pernah kita alami bukan, ketika legislatifnya didominasi para elit parpol tertentu, kemudian presidennya juga dari partai yang sama dengan pemimpin legislatifnya. Tak usah dijelaskan lebih jauh, pembaca pasti faham maksud saya.
Pemilu 2014 kali ini jelas sudah setelah KPU menetapkan bahwa PDIP adalah parpol mayoritas pemenang pemilu legislatif, maka dapat dipastikan demi kebaikan kepemimpinan bangsa dan negara yang kini menjadi perhatian seluruh dunia, maka presiden sebagai penguasa tertinggi eksekutif negara ini sebaiknya bukan dari PDIP.
Karena kita tidak mau presiden kita ini dipimpin oleh boneka, baik itu boneka legislatif maupun boneka asing. Bukan begitu saudaraku sebangsa dan setanah air?
Kenapa Saya Suka Jokowi? Karena Dia Memang Lebih Pantas Jadi Gubernur DKI Jakarta, Itu Saja!
J untuk Jakarta, dan P untuk Presiden. Itu prinsip saya yang diakui seluruh bangsa Indonesia, betul bukan?
Sidik Rizal - Pengamat Sosial Politik, komedian, komika dan komikus tak serius
Posting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan