iklan banner gratis
iklan header iklan header banner iklan header banner
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Air sebagai Amanah: Jejak MUI dalam Menakar Masa Depan Jakarta

KH Lutfi Hakim: Agar Diskusi Lokakarya Nanti Bisa Jadi Dasar Kolaborasi Antara Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat

KH Lutfi Hakim yang juga Ketua Umum ormas FBR ini menyatakan: “Lokakarya ini bukan sekadar membicarakan air sebagai sumber daya alam, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga. Kami ingin memastikan tata kelola air di Jakarta melindungi kelompok rentan, menjamin keberlanjutan, dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.”

 — JAKARTA | Di balik tabir air Jakarta, kota dengan 10 juta lebih jiwa dan jaringan pipa air padat, menghadapi tantangan klasik dan baru: dari pasokan yang timpang hingga ancaman penurunan tanah (land subsidence).

Di tengah semua itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta memilih menyelipkan wacana baru: menjadikan air sebagai “amanah” yang harus dijaga.

Langkah itu tampaknya luwes: bukan sekadar ikut bicara teknis, melainkan merangkul dimensi moral, sosial, dan religius. Apakah gertak politik atau sinyal diplomasi moral baru dalam tata kelola kota?

  • MUI DKI Jakarta akan menyelenggarakan lokakarya bertemakan “Masa Depan Air di Jakarta” dalam waktu dekat.
  • Acara ini tidak hanya membahas air sebagai sumber daya alam, tetapi sebagai amanah yang perlu dijaga agar tata kelola air di Jakarta menjadi inklusif: melindungi kelompok rentan, menjamin keberlanjutan, dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
  • Peserta lokakarya akan meliputi perwakilan pemerintah, akademisi, tokoh agama, lembaga masyarakat, dan praktisi.

Titik tekan: agenda lokakarya
Menurut materi pers yang diakses, lokakarya MUI tidak akan membahas air secara sempit — misalnya sistem distribusi atau kebocoran pipa semata — melainkan juga menyoroti bagaimana air harus “dijalankan” sebagai kewajiban bersama.


KH Lutfi Hakim yang juga Ketua Umum ormas FBR ini menyatakan: “Lokakarya ini bukan sekadar membicarakan air sebagai sumber daya alam, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga. Kami ingin memastikan tata kelola air di Jakarta melindungi kelompok rentan, menjamin keberlanjutan, dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.”

Ungkapan ini membuka ruang interpretasi: siapa yang dianggap “rentan”? Bagaimana mekanisme “perlindungan”? Siapa yang akan menjadi pelaksana — negara, swasta, atau masyarakat?

Acara itu bakal melibatkan banyak aktor: pemerintah (APH, Dinas SDA?), akademisi dari berbagai bidang, para tokoh lintas agama, lembaga masyarakat sipil, dan praktisi teknik/pengelolaan air.

Dalam susunan demikian, diskusi bisa sangat plural — tapi juga rawan jadi diskusi yang “terlalu banyak suara, sedikit keputusan.”

Catatan kritis: masalah yang mengemuka
Untuk menguji sejauh mana lokakarya bisa menjadi titik balik, perlu dilihat apa saja masalah yang selama ini melekat pada pengelolaan air Jakarta — yang mungkin tak akan muncul di agenda panel.

Berikut catatan kritis:
  1. Ketimpangan akses
    Banyak wilayah pinggiran, kawasan kumuh, atau pesisir (Marunda, pesisir utara Jakarta) masih kesulitan mengakses air bersih secara layak. Biaya sambungan baru, tekanan distribusi, dan infrastruktur di wilayah rendah merupakan tantangan nyata.

  2. Subsiden dan kenaikan permukaan air laut
    Jakarta adalah kota paling cepat tenggelam di dunia akibat penurunan tanah dan kenaikan muka air laut. Proyeksi jangka menengah menunjukkan bahwa sebagian wilayah pesisir akan semakin rawan tergenang — tak hanya kala banjir rob, tetapi juga dalam kondisi basah.
    MUI sendiri pernah memperingatkan bahwa proyek pembangunan tanggul laut (Giant Sea Wall) harus dirancang dengan cermat agar tidak memicu kerusakan lingkungan atau kerugian sosial.

  3. Fragmentasi kelembagaan & konflik peran
    Tatkala pengelolaan air melibatkan banyak badan: PAM Jaya, Dinas SDA, Kementerian Pekerjaan Umum, swasta kontraktor, hingga komunitas lokal — peran dan tanggung jawab bisa tumpang tindih. Tanpa kepastian regulasi dan akuntabilitas, lokakarya bisa menjadi forum retorika tanpa jejak implementasi.

  4. Pendanaan dan insentif ekonomi
    Siapa yang membayar? Jika kolaborasi swasta dimunculkan, apakah ada skema insentif (subsidi, kemitraan publik-swasta), ataukah justru risiko “privatisasi air” tampil di balik jargon kolaborasi?

  5. Dimensi keagamaan dan legitimasi moral
    Dengan MUI sebagai tuan rumah, diskursus keagamaan akan menjadi payung legitimasi. Tantangannya: apakah perspektif moral ini akan mendorong perubahan struktural atau sekadar retorika simbolik?


Potensi & tantangan lokakarya
Lokakarya MUI bisa jadi arena kritik moral yang mempertemukan etika, sains, dan kebijakan — memperluas narasi “air bukan hanya komoditas.”

Jika dikelola baik, lokakarya ini dapat:
  • Menyusun manifesto air Jakarta yang memiliki kekuatan moral untuk mendesak pemerintah dan pelaku swasta.
  • Mengusulkan standar keadilan akses air berbasis prinsip “amanah” yang dapat menjadi tolok ukur publik.
  • Memperkuat kapasitas organisasi masyarakat dan ulama dalam monitoring tata kelola air.

Namun risiko terbesar adalah lokakarya tanpa jejak langkah, yang hanya jadi panggung wacana tanpa urgensi implementasi.

Jejak sebelumnya: inisiatif lingkungan MUI
Keterlibatan MUI dalam isu lingkungan bukan hal baru. Dalam konferensi Mudzakarah, MUI pernah memperingatkan bahwa pembangunan tanggul laut jika tidak direncanakan matang, bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir.

Langkah MUI menyentuh aspek spiritual dan etis — misalnya menolak solusi teknis yang semata menekan biaya tapi melewatkan dampak sosial.

Epilog: apakah air bisa dijadikan amanah bersama?
Saat lokakarya digelar, catatlah instrumen yang akan muncul: apakah rekomendasi akan dipublikasikan dengan target waktu? Apakah ada mekanisme follow-up resmi ke pemerintah DKI atau Kementerian? Siapa yang bertanggung jawab memonitor?

Dialog moral seperti ini dibutuhkan, tetapi tidak cukup hanya jadi catatan dalam buku acara.

Jika benar-benar ingin memposisikan air sebagai amanah, maka teori perlu dijembatani ke kebijakan, dan suara moral harus menjadi tekanan nyata dalam pengambilan keputusan. Artinya apa? Paling tidak tentunya acara ini harus mengundang gubernur DKI Jakarta atau wakilnya, baik Pramono Anung ataupun Rano Karno.

Saat Jakarta semakin menekan ruang — fisik maupun sosial — kontribusi ulama, akademisi, dan masyarakat perlu menyatu bukan dalam simbol, melainkan dalam aksi konkret.

Lokakarya MUI menjadi peluang, risiko terbesar adalah jika ia hanya diam dalam catatan diskusi. [■] 

Reporter: NMR Redaksi - Editor: DikRizal/JabarOL
Kandidat Calon Walikota Bekasi Heri Koswara
iklan header

Post a Comment

Silakan beri komentar yang baik dan sopan

أحدث أقدم
Banner Iklan Kandidat square 2025