SIAPAPUN CAGUBNYA, MAKA CAWAGUB YANG PEGANG PERANAN
bekasi-online.com, Selasa 3 Nov 2015, 02:51 WIB, oleh: DIKRIZAL
JAKARTA, bksOL -- Kita harus memilih siapa yang bakal menjadi calon gubernur ibukota, maka segala macam isyu pun bertebaran. Karena memang siapapun calon gubernurnya, maka dia dapat dipastikan akan menjadi kandidat capres di tahun mendatang. Ini disebut Jokowi Effect Domino.
"Ah terlalu lebay itu...!" demikian sebagian besar orang merespon pernyataan saya tentang siapapun yang akan menjadi gubernur maka dia adalah kandidat kuat calon presiden mendatang. Saya berharap Anda setuju dengan premis seperti itu. jika tidak, maka inilah yang akan saya tulisakn untuk meyakinkan Anda dengan premis tersebut.
Ada beberapa kandidat cagub yang akan bertarung di pilkada 2017 mendatang. Para Cagub ini pun tentunya sedang mencari cawagub yang seide, selevel dan bisa bersinergi memperkuat perolehan suara dengan semangat keterbukaan dan tentunya akseptabilitas publik disamping elektabilitas dan aksesibilitas kandidat sebaga mitra kampanyenya.
Sedikitnya ada beberapa nama cagub seperti Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), Adhyaksa Dault, Ridwan Kamil, termasuk H. Lulung pun masuk bursa, termasuk NachrowiRamli. Tapi itu tidak seberapa, sebuah lembaga survey populer seperti Cyrus Network mengeluarkan tiga nama populer yang bakal calon gubernur DKI, di samping nama Ahok dan Ridwan Kamil, Cyrus menaikkan nama walikota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). Aneh kan? Sepertinya nuansa black campaign sudah mulai tercium di awal waktu, mendengar nama ini mencuat.
Sedangkan menurut media televisi seperti MetroTV, mengeluarkan beberapa nama kandidat yang tak kalah populer, seperti Adhyaksa Dault (PKS), Triwaksana (PKS), Nachrowi Ramli (Demokrat), Tantowi Yahya (Golkar), Sandiaga Uno (Gerindra) dan Ridwan Kamil (Gerindra).
Bahkan nama seperti Ichasudin Nursiy, masuk dalam daftar bursa cagub yang akan melawan incumbent Ahok. Artinya Ahok akan mendapat lawan baru yang dikenal publik seperti Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault dan Ichsanuddin Nursiy.
Lalu bagaimanakah Ahok bisa memenangkan pertarungan dengan lawan-lawan yang tampaknya akan menjadi pertarungan popularitas dan rekam jejak, yang menjadi senjata andalannya merebut simpati publik melalui jaringan Teman Ahok.
Karena sekiranya Ahok tetap mempertahankan cawagubnya Djarot, maka tentunya ahok bakalan sangat keteteran karena dia harus bertarung sendirian dengan senjata pamungkasnya popularitas dan akseptabilitas publiknya sendiri. Djarot tidak memberikan kontribusi yang lebih. Seolah Ahok berkampanye sendiri.
Tentunya publik masih ingat bagaimana perjuangan Jokowi dan Ahok pada pilgub beberapa tahun silam, dimana masing-masing mempunyai modal kampanye yang tidak sedikit, dalam artian bukan hanya modal dukungan finansial, tapi juga dukungan tak nampak seperti sentimen kelompok dan kepentingan stakeholder pendukung. Semua analis politik menyimpulkan demikian tentang fenomena kemenangan Jokowi Ahok pada pilgub DKI silam.
Kubu Ahok pun menyadari hal ini, itulah sebabnya mereka selagi mempunyai aksesibilitas publik maka mereka kampanyekan jaringan Teman Ahok agar bisa mengumpulkan KTP warga DKI sebanyak-banyaknya, sehingga ketika partai politik tidak mau memberikan dukungannya, Ahok masih bisa berlenggang menjadi kandidat tanpa beban reservoir alias beban balas jasa parpol. Walaupun pada akhirnya, di belakang hari, saat-saat menit terakhir, beberapa tokoh politik akan mendekatinya setelah mengetahui dukungan publik berupa pengumpulan KTP Teman ahok mendekati jumlah tertentu yang dianggap fantastik.
Jika kubu Ahok mau menyadari bahwa nama besar Ahok tidak bisa disandingkan dengan wakil gubernur yang sekarang jika ingin meningkatkan elektabilitas serta jumlah dukungan publik terhadap pasangan dimana Ahok akan menghadapi pertanyaan, "Kenapa tak disandingkan dengan nama besar tokoh yang kuat dan sangat mendukung?" jika mereka sadar siapa yang akan menjadi lawan politiknya kelak.
Nama seperti Tantowi Yahya, Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault bahkan Ichsanuddin Nursiy, termasuk Haji Lulung bukanlah nama yang bisa dianggap remeh. Mereka semua harus dilawan dengan nama cawagub yang bisa membantu memukul mereka dari segala arah, agar publik dalam hal ini warga DKI Jakarta percaya, bahwa apa yang diperjuangkan Ahok selama ini bukanlah kemauan kelompoknya saja, tapi juga keinginan semua golongan. Dimana hal ini bisa dilihat dari siapa cawagub yang akan dipilihnya nanti. Perlu diingat, jika Ahok memilih cawagub yang tidak menjadi representatif kelompok besar konstituennya, maka bisa dipastikan akan kalah meskipun tipis.
Tentunya anda setuju bukan jika ada istilah, apapun makanannya, yang penting minumnya Teh Botol. Demikian pula pada kampanye calon pemimpin DKI 2017 mendatang, siapapun calon gubernurnya, yang penting cawagubnya. Karena hal ini sangat berhubungan dengan asosiasi memori publik yang dilepaskan oleh pihak Ahok sendiri, yang kian hari kian populer, yakni Teman Ahok.
Tagline, Teman ahok akan menjadi tidak produktif bahkan bisa berubah menjadi kontra produktif, ketika ahok salah memilih siapa calon wakil gubernurnya kelak.
Tentunya publik masih ingat bagaimana perjuangan Jokowi dan Ahok pada pilgub beberapa tahun silam, dimana masing-masing mempunyai modal kampanye yang tidak sedikit, dalam artian bukan hanya modal dukungan finansial, tapi juga dukungan tak nampak seperti sentimen kelompok dan kepentingan stakeholder pendukung. Semua analis politik menyimpulkan demikian tentang fenomena kemenangan Jokowi Ahok pada pilgub DKI silam.
Kubu Ahok pun menyadari hal ini, itulah sebabnya mereka selagi mempunyai aksesibilitas publik maka mereka kampanyekan jaringan Teman Ahok agar bisa mengumpulkan KTP warga DKI sebanyak-banyaknya, sehingga ketika partai politik tidak mau memberikan dukungannya, Ahok masih bisa berlenggang menjadi kandidat tanpa beban reservoir alias beban balas jasa parpol. Walaupun pada akhirnya, di belakang hari, saat-saat menit terakhir, beberapa tokoh politik akan mendekatinya setelah mengetahui dukungan publik berupa pengumpulan KTP Teman ahok mendekati jumlah tertentu yang dianggap fantastik.
Jika kubu Ahok mau menyadari bahwa nama besar Ahok tidak bisa disandingkan dengan wakil gubernur yang sekarang jika ingin meningkatkan elektabilitas serta jumlah dukungan publik terhadap pasangan dimana Ahok akan menghadapi pertanyaan, "Kenapa tak disandingkan dengan nama besar tokoh yang kuat dan sangat mendukung?" jika mereka sadar siapa yang akan menjadi lawan politiknya kelak.
Nama seperti Tantowi Yahya, Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault bahkan Ichsanuddin Nursiy, termasuk Haji Lulung bukanlah nama yang bisa dianggap remeh. Mereka semua harus dilawan dengan nama cawagub yang bisa membantu memukul mereka dari segala arah, agar publik dalam hal ini warga DKI Jakarta percaya, bahwa apa yang diperjuangkan Ahok selama ini bukanlah kemauan kelompoknya saja, tapi juga keinginan semua golongan. Dimana hal ini bisa dilihat dari siapa cawagub yang akan dipilihnya nanti. Perlu diingat, jika Ahok memilih cawagub yang tidak menjadi representatif kelompok besar konstituennya, maka bisa dipastikan akan kalah meskipun tipis.
Tentunya anda setuju bukan jika ada istilah, apapun makanannya, yang penting minumnya Teh Botol. Demikian pula pada kampanye calon pemimpin DKI 2017 mendatang, siapapun calon gubernurnya, yang penting cawagubnya. Karena hal ini sangat berhubungan dengan asosiasi memori publik yang dilepaskan oleh pihak Ahok sendiri, yang kian hari kian populer, yakni Teman Ahok.
Tagline, Teman ahok akan menjadi tidak produktif bahkan bisa berubah menjadi kontra produktif, ketika ahok salah memilih siapa calon wakil gubernurnya kelak.
Yang jelas baik secara awam maupun dilakukan penelitian ilmiah di belakang hari, pasangan cawagub incumbent yang kini ada, Djarot tak akan mampu melawan gelombang serbuan media publik yang akan menjadi lawannya.
Ahok harus pandai mencari Teman Ahok, bukan dalam hal dukungan KTP saja, tapi juga siapa yang bakal menjadi cawagubnya si Teman Ahok terdekat.
Jangan sampai karena Ahok salah memilih Cawagub, sehingga ada yel-yel kampanye, "KTP Gue Buat Ahok, Tapi Suara Gue Bukan Buat Cawagubnya, Gak Kenal Tuh!"
Ingat kemenangan pilgub DKI pasangan Jokowi Ahok beberapa tahun silam, telah membuktikan hal tersebut bukan. Jokowi dikuatkan oleh pendukung Ahok, dan Ahok mendapat dukungan penuh citra yang dikenal akrab dengan rakyat. Bagaimana dengan Anda? [■]
SidikRizal; komedian, pengamat politik kampanye pilkada
Jangan sampai karena Ahok salah memilih Cawagub, sehingga ada yel-yel kampanye, "KTP Gue Buat Ahok, Tapi Suara Gue Bukan Buat Cawagubnya, Gak Kenal Tuh!"
Ingat kemenangan pilgub DKI pasangan Jokowi Ahok beberapa tahun silam, telah membuktikan hal tersebut bukan. Jokowi dikuatkan oleh pendukung Ahok, dan Ahok mendapat dukungan penuh citra yang dikenal akrab dengan rakyat. Bagaimana dengan Anda? [■]
SidikRizal; komedian, pengamat politik kampanye pilkada
Posting Komentar
Silakan beri komentar yang baik dan sopan